Opini

Blunder Pansus Angket (Emosi) Haji

PERADABAN.ID – Membuat emosi publik mendidih, salah satu alat yang kerap digunakan adalah dengan melanggengkan kebencian atas nama agama.

Di India, bahkan dengan cerita rekaan, ini dilanggengkan dan disebarkan secara meluas. Tujuannya jelas partisan mendulang suara. Dalam buku Pemelintiran Kebencian milik Cherian George ada kisah rekaan yang menyebar menjelang Pemilu 2024.

Seorang pemuda yang rupawan tampan dengan kharisma dan iming-iming masa depan cerah, mampu menaklukkan perempuan beragama Hindu. Si perempuan jatuh cinta dan kabur bersama sang laki-laki. Kendati di akhir cerita si laki-laki memaksanya masuk Islam dan menjualnya sebagai budak.
Kisah rekaan ini meraup perhatian publik. Ia menjadi instrumen mendulang suara dengan mengeksploitasi emosi publik, lipstiknya adalah agama.

Di Indonesia, Presiden Gus Dur juga tak berjarak menjadi korban. Megawati pun demikian. Keduanya mendapat sorakan dalil “orang cacat” dan haram bagi perempuan menjadi pemimpin. Di daerah tidak sedikit yang demikian terkena olahan mendidih sentimen agama.

Mantan Gubernur Jakarta Ahok, kata Sumanto Al Qurtuby, paling melekat nan tragis dalam sejarah kontemporer politik kita, tak terkecuali Presiden Jokowi.

Baca juga: Talbiyah Politik Cak Imin: Mengkritik Haji Demi Kursi Menteri

Penggunaan sentimen agama menjadi langgeng dalam kepentingan politik biasanya didukung oleh kegemaran media terhadap pemberitaan miring. Didukung oleh kekuatan sosial media dan perangkat lainnya yang bisa mendukung mobilisasi hasutan untuk menyudutkan pihak tertentu.

Politisasi agama bukan lagi tentang tabrakan nilai antaragama. Akan tetapi, masih dalam Cherian Geroger, adalah kampanye dahsyat yang memobilisasi beragam kepentingan oleh segelintir oportunis politik dengan mengeksploitasi ruang-ruang demokratis.

Pansus Angket Haji yang belakangan ini ramai juga berbau aroma politisasi agama. Secara masif, geliat penggunaan sentimen agama sudah muncul sejak sebelum pemberangkatan jemaah haji. Pansus Hak Angket dibentuk, bahkan sebelum pelaksanaan haji benar-benar rampung.

Gejala lainnya adalah berkaitan dengan fasilitas haji mulai dari tenda, makanan, dan transportasi di titik krusial puncak haji seperti di Armuzna. Ketidaksesuaian, demikian Pansus menyebutnya, antara jumlah jemaah dengan fasilitas yang tidak tersedia, menjadi perdebatan yang cukup mengemuka.

Sementara di sisi yang lain, akselerasi pelayanan terus dilakukan. Turunannya, banyak para jemaah haji yang merespon positif. Mereka merasa terbantu dan senang dengan pelayanan yang diberikan oleh penyelenggara melalui petugas haji.

Salah seorang petugas haji, Muh Syaltut – Petugas Haji yang berasal dari PP Pemuda Muhammadiyah, menuturkan indikator yang digunakan untuk mengukur kepuasan jemaah hanya satu, ucapan terima kasih. Dan ia bersama teman-teman lainnya yang bertugas, merasa telah memberikan pelayanan terbaik kala jemaah haji mengucapkannya.

Tidak sekadar ucapan yang didapatkan, tetapi juga pelukan. Jemaah haji, seperti yang terjadi di Soekarno Hatta kemarin, menyambut para petugas bak pahlawan. Potret yang sebenarnya mengakumulasi pelayanan yang meningkat pada arah perbaikan dari tahun-tahun sebelumnya.

Mengenai kuota jemaah haji, jika dilihat dari narasi pemberitaan di sosial media atau media massa, hal yang paling kentara dieksploitasi adalah antrean jemaah haji, bukan pada konstruksi hukum.

Penggunaan sentimen antrean haji ini dieksploitasi sedemikian rupa untuk mengaduk-ngaduk emosi publik. Ia menarik emosi publik demi penggalangan dukungan atas gerak politisasi melalui Pansus Angket Haji. Ketimbang semisal, adu tafsir atas konstruksi regulasi yang berkaitan dengan kuota haji.

Pemilihan umum sudah rampung digelar. Dinamika politik akan disusul Pemilukada secara serentak. Tapi di antara keduanya, terbentang perebutan kursi Menteri. Disinilah kenapa Pansus Haji menjadi penting, alih-alih untuk memperbaiki pelayanan ibadah haji, sedikitnya untuk menasbihkan noda hitam kepada penyelenggara. Dan siapa tahu ia menjadi wasilah hasrat ambisi untuk memuluskan niat bulus Pansus.

Dan kita tahu, sangat kentara, siapa yang mendayung kapal di tengah lautan emosi ini.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button