Opini

Keluarga Global

Peradaban.id – Di Indonesia ada satu pohon yang masih satu famili dengan kurma yaitu kelapa. Pohon kelapa dianggap keluarga global dari pohon kurma, setidaknya dalam pandangan dan kenangan masyarakat.

Buah pohon kelapa yang sudah kering yang kemudian dikenal dengan batok kelapa itu, biasa dimanfaatkan dalam permainan sepakbola api. Dengan mengeringkannya sampai kadar air habis lalu direndam dengan minyak tanah sehari semalam.

Permainan pemacu adrenalin itu, kerap kali dipakai sebagai ajang adu keampuhan.

Mereka yang tidak berani barang menendang sekali saja sudah dicap penakut. Setidaknya itu selaras dengan ingatan saya dan teman-teman masa kecil saya.

Peraturan permainan ini seperti permainan sepakbola pada umumnya. Tim yang berhasil mencetak gol lebih banyak berhak menjadi pemenang.

Tapi permainan belum dianggap berakhir sebelum batok itu pecah atau salah satu dari pemain terkena luka bakar. Ngeri!

Baca Juga: Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru

Maka dari itu, sekali lagi, permainan pemacu adrenalin itu, kerap kali dipakai sebagai ajang adu keampuhan, bagi beberapa kalangan.

Media Diplomasi

Sepakbola api adalah sepotong dari beribu manfaat pohon kelapa. Betapa pohon yang memiliki nama latin cocos nuficera ini mempunyai nilai kemanfaatan yang absolut, dari akar sampai pucuk daun.

Indonesia diberi anugerah oleh Tuhan memiliki total 99.093 kilometer panjang garis pantai. Maka sahih kemudian Ismail Marzuki menyebut Indonesia dalam lagu “Rayuan Pulau Kelapa” sebagai “Pulau kelapa yang amat subur”.

Lagu ini tersohor di seantero dunia pada medio tahun 1950-an. Menjadi lagu yang sangat terkenal di Rusia dipopulerkan oleh penyanyi Maya Golovna dan komposernya Vitaly Geviksmal. Kelapa, pernah menjadi media diplomasi Indonesia dalam konferensi-konferensi internasional.

Sayang, skema ini justru membuat Indonesia, negeri kaya ini, diperas, dipaksa bertekuk lutut di hadapan fatwa WHO untuk tidak lagi memproduksi minyak kelapa dengan dalih bikin kolesterol. Pasar global kemudian memaksa negara untuk beralih ke minyak sawit.

Baca Juga: Harum Tangan Kyai Maimoen

Ritus Agama

Pada kultur masyarakat nusantara, kelapa menempati posisi penting dalam kehidupan, utamanya terkait dengan kepercayaan.

Dalam rite of passage (ritus peralihan) masyarakat nusantara tidak lepas dari pohon kelapa. Buah dan daun misalnya, selalu dipakai sebagai komponen primer suatu tradisi, dari kelahiran sampai kematian.

Setali tiga uang dengan kelapa, Islam yang tergelar sejak lama di nusantara memiliki nafas panjang dalam memberi kemanfaatan dan kemaslahatan bagi masyarakat, atau dalam bahasa Gus Yahya ‘peradaban Islam di nusantara itu solid dan punya daya tahan yang panjang’.

Nafas panjang ini diperuntukkan bagi tradisi atau ritual agama yang memberi kemanfaatan melampauhi waktu. Adapun buih, ia mengalir percuma, tak terpedulikan. Sekelas apapun berteriak, tradisi sekelas buih itu akan hilang percuma. Tapi tradisi sekelas kelapa bergerak pelan saja dia akan menebar kemanfaatan.

Baca Juga: Gus Yahya dan Cordoba 

Model keagamaan seperti ini, tidak terlepas dari jasa Walisongo, terutama Sunan Kalijaga yang sanggup memodifikasi peradabaan pra-Islam di nusantara agar relevan dan selaras dengan fikih peradaban Islam yang menjadikannya sebagai keluarga global dari peradaban dunia.

Misal ketupat, ia adalah produk dari kelapa yang sebelumnya menjadi tradisi pra-Islam, tapi Islam kemudian mengakomodir produk budaya itu, sehingga ketupat kemudian masyhur sebagai label Islam ketika Idulfitri.   

Sifat adaptif Islam Indonesia yang bernuansa lentur dan luwes menjadi pedal yang fardu untuk terus dikayuh agar tetap berada pada jalur keluarga global dari peradaban dunia. Sebagai wakil dari wajah Islam Indonesia, Gus Yahya dengan tegas mengatakan bahwa mandat Nahdlatul Ulama adalah mandat peradaban.

“Good Muslims, doing rahmah”.  

Yusuf Ali Syafruddin

Pegiat di Kajian Islam dan Kebangsaan

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button