Opini

Abu Jahja Ch. Staqouf

PERADABAN.ID – “Imajinatif tetapi tidak mengada-ada dan kematangan tulisannya jauh melampaui kami remaja seusia”, kata Yusuf Arifin ketika memberi komentar cerpen “Lilin Ulang Tahun” karya Yahya C Staqouf di Majalah Kuntum No. 22, Mei 1984.

Selain komentar itu, Yusuf Arifin banyak berkisah perihal arti penting sebuah perjumpaan. Pendek kata, sebelum mengenal Gus Yahya, Yusuf cukup lugu. Mulanya dia mengira cerpen “Lilin Ulang Tahun” itu ditulis oleh kader Muhammadiyah. Sebab majalah itu dikelola oleh Ikatan Pelajar Muhammadiyah Yogyakarta.

Ternyata nama Yahya C Staquf itu bukan nama cerpenis kader Muhammadiyah. C yang berarti Cholil (Kiai Cholil Bisri) adalah nama Ayah Gus Yahya. Seorang kiai kharismatik dari Leteh, Rembang yang dihormati di lingkungan Nahdlatul Ulama dan Indonesia.

Abu Jahja Ch. Staqouf merupakan nama pena Kiai Cholil Bisri. Beliau juga cerpenis. Guna menaikkan level, Kiai Cholil berkompetisi dengan adiknya, Kiai Mustofa Bisri. Tetapi, di bab ini, Kiai Cholil mengakui ketangkasan adiknya.

Cerpen Kiai Cholil Bisri. Foto: Istimewa

Baca Juga Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru

Jamak orang mengatakan jika Leteh adalah gudang ilmu. Mazhab Leteh adalah ta’lim wa tarbiyah. Jurus pamungkasnya adalah keabadian, buah pena misalnya. Laku ini salah satu tirakat Kiai Bisri Musthofa. Kiai Ali Maksum sampai menyanjung laku Kiai Bisri ini dengan bahasa “inilah amal saleh dan pusaka yang nyata manfaat serta keramatnya”.

Yusuf baru mengetahui kebenaran itu belakangan. Tepatnya setelah ia bertemu Gus Yahya di Musala Fisipol UGM. Bagi Jemaat Musala Fisipol UGM, Gus Staqouf de facto adalah kiai generasi itu (faridu zamanihi). Dengan tanpa penobatan secara struktural!

Yusuf mentakidnya dengan ngijir latar biografis: modal capital dari keber-ada-an Gus Yahya di lingkaran tersebut. Keluarga, pengetahuan agama, nyantrik di Krapyak, kesalehannya, semua itu ditunjang oleh kecerdasan yang cukup membuat teman-temannya menjadi segan untuk urusan keagamaan. Tabik.

Leteh Tak Pernah Letih

Aku menjadi sadar, aku harus mulai membuat rencana-rencana. Falsafah hidup yang keliru harus disingkirkan. Hari ini tidak hanya berarti hari ini, tetapi ia juga berarti hari esok, lusa dan seterusnya. Yang dilakukan hari ini bukan hanya menerima atau menghadapi kenyataan, melainkan menciptakan kenyataan yang menunjang cita-cita. Aku tidak boleh hanya menyediakan harapan-harapan untuk hari esok, tapi terlebih dari itu dan terpenting adalah rencana. Ya, rencana.

Sepenggal cerpen “Lilin Ulang Tahun” karya Yahya C Staquf Majalah Kuntum No. 22, Mei 1984

Baca Juga NU dalam Pusaran Situs Global

Cerpen yang ditulis Gus Yahya di usia 18 tahun itu, menyimpan pergulatan (lahir dan batin) akan pertanyaan besar tentang masa depan. Disajikan dengan nuansa realisme-magis–yang dipopulerkan oleh Gabriel Garcia Marquez–cerpen itu menampar kesadaran kita yang sering hanyut dalam gejala-gejala psikologis tentang kekecewaan terhadap kenyataan.

Rasa kecewa kadang menenggelamkan kita dari nikmatnya udara. Membuat padam api yang baru saja tersulut. Dan berujung pada menyakiti diri sendiri. Tapi Leteh tak pernah letih.

Di bagian akhir cerpen, ketika muncul figur paman memberi nasehat, Gus Yahya seperti ingin memperkuat karakter muassis NU yang sudah nyondro (berpikir jauh) jauh ke depan, bahwa dunia membutuhkan keseimbangan baru, yang lebih inklusif, lebih berempati, dan lebih berbasis kasih sayang (rahmah).

Karena itu, menurut Gus Yahya, perjuangan memerlukan kesungguhan, memerlukan tidak hanya kerja keras, tetapi juga transformasi pola pikir.

Yusuf Ali Syafruddin

Pegiat di Kajian Islam dan Kebangsaan

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button