Cerita dari Kudus
PERADABAN.ID – Tembang kenangan yang diputar sopir mobil yang saya tumpangi, sepertinya tidak cocok dengan tekstur jalan menuju Menara Kudus. Badan saya naik turun dari kursi, akibat bisul-bisul kecil sepanjang jalan.
Mustinya lagu dangdut yang mengocok hasrat tubuh bergerak mengikuti irama yang diputar sang sopir. Sehingga bisa ada alasan, bahwa tubuh saya yang bergerak itu, bukan akibat bisul-bisul sepanjang jalan, tetapi terpancing irama ketipung.
Baca Juga 23 Juli 2001
“Biasanya calon pejabat atau pejabat pantang ziarah ke makam Sunan Kudus,” sopir memulai pembicaraan. Seperti keramahan yang ditunjukkan orang-orang pada umumnya untuk menghidupkan suasana, setelah sebelumnya menanyai deretan lengkap abjad KTP.
Temanku yang kebetulan duduk di barisan tengah tampak kaget. “Memangnya kenapa, Mas?” pertanyaan ini seperti meletus dari mulutnya. Yang dia ketahui, hanyalah Kediri yang menjadi mitologi agung para politisi pantang mendatangi. Termasuk saya sendiri dan 4 orang lainnya yang berada dalam mobil berplat K itu.
“Katanya sih banyak yang gagal Mbak. Atau justru malah jabatannya bisa tumbang sebelum akhir masa periode,” kata-kata ini seperti kami iyakan semua, tanpa pertanyaan lanjutan lagi, contohnya; siapa mas? semisal.
“Tuh, Mbak-mbak Mas-mas, kita berdoanya jangan minta jabatan atau berlaga jadi pejabat,” tawa tumpah. Kali ini, tubuhku naik turun bukan sebab bisul jalan semata. 10 menit kemudian, kami sampai dan mengambil foto sebanyak-banyaknya, sebanyak doa yang terlantun saat bersimbah di samping makam tertutup tirai putih, dengan penyangga kayu penuh pahatan rapi.
Baca Juga
- Dialog Antara Pedang dengan Batang Leher (Bag. I)
- Dialog Antara Pedang dengan Batang Leher (Bag. II)
- Dialog Antara Pedang dengan Batang Leher (Bag. III-Habis)
Potongan dialog mistis ini bukan pertama kali terselubung dalam ornamen-ornamen modern. Maksudnya begini, acapkali dengung-dengung demokrasi sebagai sistem politik modern, ujung pritilannya juga berbau mistis. Terlepas mereka namai ini sebagai ‘minta restu’ atau ‘doa kesuksesan’.
Dalam sisi-sisi modern yang lain juga demikian rupanya. Semisal, gedung nan megah itu terkotak-kotak menjadi beberapa bagian. Jam segini untuk memutar film impor dari barat, selanjutnya genre drama, horor, laga dan seterusnya.
Gedung yang bernama bioskop itu, adalah penyangga hiburan orang-orang modern. Terbentuk juga oleh sistem modern. Kita masuk pun ke dalamnya, beh… semua sudah serba modern, pesan dan nyetak tiket, minum dan cemilan di dalamnya. Lengkap dan sempurna.
Tapi tak dinyana, bahwa film yang bertengger paling atas justeru film bergenre horor, yang konon orang modern sudah tidak begitu percaya dengan hal-hal begituan. Tapi itulah kenyataannya.
“Habis dari mana ini?” ini kisah lain. Gus Yahya mengisahkan bahwa seorang politisi partai Islam mampir ke kediaman Mbah Syahid sepulang kampanye. Sang politisi adalah tokoh besar yang dimuliakan orang, begitu bunyi artikel Mencari Dunia, bahkan sudah dipanggil kiai pula. Mbah Syahid pun memberikan penghormatan sesuai dengan kedudukannya.
Baca Juga Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru
“Ini lho, Mbah …” politisi meluncurkan pesonanya yang khas, “…mencari akherat kok sulitnya bukan main…”
Tapi Mbah Syahid kelihatan tidak terkesan.
“Ah, masih lebih sulit mencari dunia kok,” kata beliau. Politisi tercekat. Merasa kalau sudah sudah salah bicara.
“Coba bayangkan susahnya penjual daun,” Mbah Syahid melanjutkan, “pagi-pagi berangkat ke hutan. Memanjat pohon jati. Menyenggeti daun-daunya. Daun-daun yang jatuh pun melayang sembarangan, sehingga harus berjalan kesana-kemari untuk mengumpulkannya. Ditumpuki, dibawa ke pasar. Sampai di pasar belum tentu laku pula…”
Hingga hampir satu jam setelah itu, sampai tiba saatnya pamit, politisi tak berani berkata-kata apalagi.
2 Comments