Opini

Politik Kemanusiaan Sebagai Jalan Melawan Politik Identitas

PERADABAN.ID – Pestapora politik pada dasarnya hanyalah momen pertarungan yang dimanipulasi seakan-akan sedang berlangsung sebuah kegiatan pesta. Sejak Pemilu pertama berlangsung, term pesta selalu digaung-gaungkan agar pertarungan di dalamnya bisa sedikit diredam. Padahal, sejatinya pesta adalah perayaan kegembiraan. Bukan pertarungan, bahkan pertempuran.

Apalagi setelah pesta usai, timbul kedengkian, kebencian satu sama lain yang mengganggu jalannya proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Sudah pasti itu bukan esensi pesta. Melainkan benar-benar pertempuran.

Dalam hal ini istilah pesta muncul dengan beragam narasi. Ada yang mengatakan pesta negara, pesta rakyat, pestanya wong cilik, dan pesta-pesta lainnya. Namanya pesta negara, tentu pestanya rakyat. Lantas siapa lagi yang berpesta di dalam sebuah negara kalau bukan masyarakatnya. Siapa yang pantas dibahagiakan kalau bukan mereka.

Tetapi pertanyaannya, apakah rakyat benar-benar bahagia? Atau justru malah menderita karena imbas yang ditimbulkan saat selesai pesta?

Baca Juga

Era sekarang, isu apa yang tidak dipertentangkan. Hampir semua isu dipermasalahkan. Efeknya pada kesalahpahaman. Kesalahpahaman berimbas jadi perkubuan. Perkubuan jadi permusuhan. Permusuhan jadi perpecahan. Kemudian bertransformasi jadi polarisasi yang sama-sama saling berkepentingan. Kadang kepentingan ini yang tidak lepas dari manusia. Tidak ada salahnya punya kepentingan. Yang salah ada pada cara untuk menggapai keinginan itu.

Terlalu kuat atmosfer pertengkaran, imbasnya bisa sampai merusak hubungan persaudaraan dan kekeluargaan yang sudah terjalin begitu lamanya. Apa tidak tragis, persaudaraan bertahun-tahun bisa putus begitu saja hanya karena pilihan politik berbeda. Sangat disayangkan, hubungan yang sudah terjalin begitu rekat dan lamanya, bisa rusak karena pilihan politik yang sifatnya sementara.

Kesadaran Sebagai Korban

Fenomena seperti ini sering terjadi di komunal masyarakat akar rumput. Mereka bukan pelaku utama, tetapi imbasnya sangat terasa. Mereka adalah kelompok penikmat pertarungan bebas yang dilakukan para politikus lewat media sosial. Mereka memakan mentah-mentah penggiringan opini yang telah dikonsep sedemikian rupa. Ibaratnya mereka hanya mendapat ampas tebunya, bukan batang tebunya, begitu juga sarinya.

Jadi bisa dikatakan, sebenarnya kita yang di bawah hanyalah korban semata. Itu yang jarang disadari masyarakat. Bila kesadaran menjadi korban bisa dipahami secara kolektif oleh masyarakat, maka itu bisa sangat efektif menekan permusuhan.

Namun sayangnya selama ini kesadaran itu kurang bisa diterima. Mereka masih menganggap bahwa dirinya punya andil besar dalam pertarungan itu.

Sementara ini, yang paling mudah adalah mengusung politik identitas. Mereka sengaja memilih identitas yang sangat melekat dalam keyakinan mereka, yaitu agama.

Baca Juga Para Kerumunan

Seperti pada penelitian berjudul “Political Identities: The Missing Link in The Study of Populism” yang dilakukan Melendez dan Cristobal (2017) menerangkan bahwa populisme bisa berkembang hanya ketika membawa strategi politik identitas. Ujung-ujungnya, polarisasi antar kubu akibat politik identitas akan diarahkan menjadi populisme yang lebih condong ke apatis.

Sedangkan akibat yang dibawah karena populisme tersebut, Cas Mudde (2014) menjelaskan, masyarakat akan punya jarak jauh dengan para pejabat, terutama para pejabat korup atau kurang baik.

Ada semacam sekat pemisah antara pemerintah dan masyarakat. Sekat itu seharusnya tidak boleh terjadi, mengingat dalam praktik demokrasi, masyarakat bertindak sebagai subjek sekaligus objek yang paling utama. Subjek pengendali kedaulatan dan objek yang wajib dilayani.

Mudde pun mendefinisikan populisme menjadi dua kelompok absolut, yaitu rakyat murni dan elite korup. Di kubu rakyat murni, masyarakat mempunyai kesan kurang percaya dengan pemerintahan yang ada dan mereka cenderung bersifat apatis. Tidak peduli dengan negaranya.

Ketidakpedulian itu bisa diwujudkan ke hal-hal sederhana. Contohnya tidak taat bayar pajak. Di benak masyarakat, buat apa bayar pajak, kalau pajak kita terus dikorupsi. Bukan untuk masyarakat, tetapi disalahgunakan untuk kekayaan pribadi. Itu contoh imbas kecil yang membuat jarak antara pemerintah dan masyarakat.

Politik Kemanusiaan

Dari situ, akhirnya muncul konsep gerakan bernama anti-establishmen. Suatu gerakan menuntut pemerintahan yang setimbang dalam menyelesaikan hal-hal krusial, seperti perbaikan masalah ekonomi, penghapusan praktik korupsi, dan menurunkan harga kebutuhan bahan pokok masyarakat.

Mengingat kembali apa yang dikatakan Gus Dur, bahwa yang paling tinggi dari politik adalah kemanusiaan. Bagaimana proses politik itu bisa mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang utamanya saling menyatukan dan mendewasakan. Bukan membedakan, terlebih saling bermusuhan.

Sejalan dengan Gus Dur, Walter Lippmann dalam filsafat publiknya, ia mendorong agar para politikus demokrasi lebih mengutamakan moralitas berpolitik, karena moralitaslah yang membatasi segala bentuk kebebasan dalam berdemokrasi.

Praktik politik identitas seperti ini harus benar-benar dihentikan. Ciptakan proses politik yang mendewasakan.

Baca Juga

Gunakan narasi-narasi sehat di segala sumber informasi. Tidak semua masyarakat punya keterampilan menyikapi informasi baru. Meski pertarungan tidak bisa dihindari, seenggaknya para pelaku politik punya pemikiran panjang tentang bagaimana menjaga persatuan dan keutuhan umat bernegara.

Untuk menciptakan masyarakat yang dewasa dalam demokrasi, kuncinya satu, yaitu dimulai dari para pekerja politiknya. Mereka harus punya pikiran dewasa terlebih dahulu, karena mereka hanya sekadar tahu bagaimana keinginan mereka tercapai, tetapi melalaikan akibat yang ditimbulkan oleh pertarungan politik mereka.

Sederhananya, politik identitas tidak bisa dilawan dengan politik identitas yang sama. Politik identitas harus dilawan dengan politik kemanusiaan. Artinya politik yang mengusung nilai kemanusiaan, atau kata Walter, politik yang mengutamakan moralitas. Sebab, efeknya bermanfaat untuk jangka panjang.

Saya percaya, tidak semua praktik politik itu jelek. Bergantung proses pelaksanaannya seperti apa. Berhubung politik adalah proses yang melibatkan banyak orang, sehingga patut dipertimbangkan konsekuensinya.

Justru politik ini adalah momen. Kalau dipraktikkan baik, maka imbas baiknya akan sangat besar. Bila dipraktikkan buruk, maka imbas buruknya juga akan lebih besar dan berefek jangka panjang. Bisa sampai ke anak-anak muda generasi penerus bangsa. Sebab, kedengkian dan kebaikan itu bersifat turun-temurun. Ditambah dengan adanya jejak digital, maka kedengkian itu akan lebih awet, bahkan keawetannya bisa mirip seperti amal jariyah. Lekang tak termakan waktu.

Oleh: Ahmad Baharuddin Surya, Penulis dan Pengajar di Sekolah Progresif Bumi Shalawat Sidoarjo.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button