Opini

Para Kerumunan

PERADABAN.ID – Seorang pengamat dibutuhkan dalam ruang demokrasi. Pandangannya terhadap sebuah kebijakan publik dinantikan. Pandangan itu untuk memeriksa secara menyeluruh dan memancing perdebatan yang sehat. Sebab posisi penting inilah, pandangan pengamat harus objektif.

Naasnya, menjelang pelaksanaan Pemilu posisi pengamat kadang tergelincir. Merka berubah menjadi seorang demagog, yang oleh Haryatmoko dikatakan, dengan retoriknya untuk mengocok dan memanipulasi emosi publik untuk mempengaruhi opini publik.

Kalau bukan oleh subjektivitas dan tendensinya sendiri, biasanya dan kerap, digunakan oleh ‘para kerumunan’ untuk melegitimasi wacana tertentu. Padahal, sang pengamat menujukkan satu fenomena yang sebenarnya adalah korektif.

Baca juga:

Diperparah lagi dengan alat yang dimiliki platform-platform media dan teknologi saat ini. Seperti, suntingan terhadap video dan potongan-potongan ucapan, yang memungkinkan terjadinya pendiktean terhadap sebuah narasi.

Saat kemarin, dan mungkin beberapa minggu yang lalu, bersileweran potongan pandangan dari seorang pengamat yang membandingkan calon presiden atau wakil presiden. Saat besumber dari organisasi seperti NU, ia tak lebih menjadi pajangan semata. Tetapi, saat bersumber oleh sebuah partai, ia akan menjadi satu kekuatan politik yang dahsyat.

Bisa jadi, anggapan saya pandangan pengamat ini untuk mengoreksi pasangan presiden dan wakil presiden periode 2019 – 2024. Di mana, kualitas kepemimpinan KH Mar’uf Amin sebagai wakil presiden dianggap kurang kuat olehnya. Atau mungkin dari beberapa peristiwa sebelumnya. Saya tidak mengerti.

Saya tidak mau terjebak dalam pandangan sempit seperti itu. Tapi saya mencoba untuk mendetailkan apa yang dianggap paling kuat dan hanya jadi pajangan. Apa yang dibilang dari partai politik atau bukan partai politik.

Keawaman saya meyakinkan bahwa kekuatan demokrasi itu terletak pada eksistensi dan penguatannya terhadap civil society. Apabila civil society mempunyai kualitas dan pandangan-pandangan kritis serta diberdayakan dalam konteks merawat ekosistemnya dengan baik, demokrasi akan tumbuh. Maka sebenarnya, civil society itu menjadi kunci dari narasi demokrasi.

Justeru yang perlu dikuliti dewasa ini adalah bagaimana kekuatan civil society yang melulu direduksi oleh keberadaan partai politik. Partai politik bukan tidak penting dalam demokrasi, tapi narasi yang menyanjung terlalu khayali terhadap partai politik dengan mendeskreditkan peran civil society, itu kecelakaan demokrasi.

Jika beranggapan bahwa pilarnya demokrasi itu salah satunya partai politik, mustinya pondasi dan nafas civil society. Mendikotomikan keduanya, sama saja menisbihkan peran penting dari salah satunya.

Lantas apakah harus menodong civil society berkedok partai politik dalam konteks kepemimpinan nasional? Bukannya tidak demikian seharusnya?

Baca juga:

Dan seperti yang saya sampaikan di atas, para kerumunan itu sangat girang dengan pandangan yang demikian. Tidak tahu apakah mereka adalah partisan yang mabuk personifikasi, atau memang latah dan tidak punya kedewasaan politik.

Potongan video yang mereka sebar dengan berlipat-lipat itu, nyatanya telah mereduksi satu aspek lainnya dalam bangunan demokrasi. Mereka ingin meninggikan posisi tertentu dengan menjatuhkan yang lainnya. Mereka tidak ingin melengkapi, tapi memang sengaja memilah dan memisahkan.

Beginilah jadinya, jika kesadaran politik itu dibangun atas personifikasi junjungan. Justeru tidak menggambarkan upaya mendaulat pembangunan demokrasi, tapi birahi yang tak berkesudahan. Karena berkerumun, mereka ugal-ugalan meyakininya sebagai sebuah kebeneran. Mereka telah mereduksi satu narasi dengan cara mendikte.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button