Politik Religiositas: Praktik Mempercantik Diri Jelang Pemilu
PERADABAN.ID – Politik identitas kini jadi terma negatif yang dihindari oleh para pasangan calon presiden. Term tersebut memperlebar wajah “kesalehan beragama” yang diangkat sebagai komoditi politik.
Hari ini, hal itu dilakukan mula-mula untuk merebut hati masyarakat Indonesia yang religius, yang juga menjadi praktik di hampir semua calon presiden mendekati tahun politik. Mereka, sahih, akan berlomba-lomba menunjukkan sisi-sisi kesalehan beragama masing-masing.
Tapi apakah sepenuhnya politik identitas jadi sindikasi politik yang negatif? Atau ada hilirisasi terhadap alternatif lain yang kudu dilakukan ‘para konsultan politik’?
Hemat saya, politik religiositas bisa menjadi jawaban untuk mengelak dari terma negatif politik identitas. Lantas bagaimana caranya?
Baca Juga
Caranya beragam dan bisa dalam bentuk yang bermacam-macam pula, mulai dari “Sowan” ke pemuka agama, mendatangi acara-acara keagamaan, serta menampilkan citra diri sebagai orang yang salih dalam beragama di media. Ya, dengan atribusi dan instrumen keagamaan.
Apa yang ingin didapat? Mulai dari simpati, keberpihakan, apakah ada korelasinya dengan bagaimana menjalankan kepemimpinan nasional? Padahal Indonesia bukan negara agama?
Sebagai bangsa yang “senang berhusnudzan”, kita yakin hal tersebut berimbas dan terhubung dengan harapan nilai-nilai agung keagamaan. Bahwa kesalihan dalam beragama menjadi kesalihan dalam memimpin negara, ingat, nilai-nilainya saja, bukan bentuk negaranya, Agama, Islam-pun bukan negara, catat ya!
Baca Juga Mengintip Nahdlatul Ulama dari Timur
Politik religiositas adalah politik kesalihan beragama, emang boleh? Menurut saya boleh saja.
Namun hal pertama yang harus diingat adalah kesalihan beragama sebenarnya bukan dari tampilan, atribusi dan instrumen keagamaan, namun kesalihan beragama akan menjadi output gerak sikap dan kebijakan yangg berpijak pada nilai-nilai luhur agama, adil, jujur, dsb.
Jika religiositas hanya dijadikan kosmetik lima tahunan semata, ya gimana …
Kedua, politik religiositas jangan sampai menyeret pada politik identitas, yang kemudian merebut satu frasa saya yang benar dan kamu yang salah, menjadikan wajah kesalihan dengan menuding yang lainnya sebagai tidak salih dan tidak layak dipilih.
Baca Juga
Lebih-lebih muncul dengan narasi saya toleran dan moderat, yang lain tidak, track record kebijakan. Diakui ataupun tidak, jejak digital akan cukup untuk masyarakat menilai bagaimana selama ini keberpihakan mereka pada semangat-semangat keagamaan, kebangsaan yang selaras dengan semangat Bhineka Tunggal Ika bangsa ini.
Terakhir, semua kosmetik politik hari ini akan dipakai, termasuk kesalihan beragama, tak apa, jangan kebanyakan, menor-pun tidak bagus untuk wajah aslinya, malah akan tampak seperti badut yang lucu, akan lebih baik yang ditonjolkan adalah tawaran-tawaran strategis dan logis untuk bangsa ini bukan?
Oleh: Afif Fuad Saidi, Ahli Fundamentalisme Islam, Cyber War Room PP GP Ansor
One Comment