Gagasan

Ngaji Qonun Asasi NU #9 – Selesai: Tradisi Keulamaan di Nusantara

PERADABAN.ID – Para sarjana sudah banyak mencatat tradisi keulamaan di Nusantara. Dalam struktur lanskap yang berbeda-beda, para ulama memiliki satu keniscayaan yaitu pemegang otoritas agama (hukumah diniyah).

Studi antropologis awal yang paling mashur berkenaan dengan wacana ini adalah karya Zamakhsyari Dhofier (1994) dalam bukunya berjudul “Tradisi Pesantren”, Gus (1974) Dur dengan teori pesantren sebagai subkultur, Clifford Geertz (1960) yang menyebut kiai sebagai cultural broker, makelar budaya dan masih banyak kajian akedemik lain yang lahir belakangan.

Peran dan fungsi kiai dalam ketiga karya tersebut mencoba melihat kiai dalam dua aspek, yaitu; khadimul ilm dan riayyatul ummah, pelayan ilmu dan pelayan masyarakat.

Geertz menilai kiai sebagai makelar budaya karena mampu mendialogkan fungsi yang diperankannya pada dua dunia; dunia pesantren yang diasuhnya sembari melakukan filterisasi dari pengaruh budaya luar.

Baca Juga Ngaji Qonun Asasi NU #8: Islam Agama Peradaban

Upaya mempertebal gagasan tersebut dilakukan oleh Gus Dur dan kemudian Dhofier dengan melihat bagaimana pesantren merupakan unifikasi budaya dalam bentang lanskap masyarakat Indonesia.

Lebih jauh dari itu, Gus Yahya beranggapan kalau struktur kepemimpinan tradisional di Jawa tumbuh sejak zaman Pra-Islam. Bahwa karakteristik struktur sosial-politik di Indonesia sangat federatif (kekuasaan terhubung).

Sriwijaya – Mataram Islam

Pada zaman Sriwijaya (Abad 7), mereka menguasai dan memelihara jaringan perdagangan antara daerah di Nusantara dalam konteks perdagangan internasional. Kapasitas militer Sriwijaya digunakan untuk memelihara ketertiban jalur perdagangan di Nusantara, baik domestik maupun internasional.

Maka Sriwijaya menekankan kemampuan pengedalian politiknya (political grabbing) di Pelabuhan dagang. Sementara politik internal (indigenous political) yang berlaku di dalam pulau dibiarkan berekspresi, sehingga tumbuh pemimpin-pemimpin komunal di dalam pulau itu sendiri. Mereka hanya bertemu otoritas Sriwijaya di pelabuhan.

Tradisi ini berlanjut sampai akhir zaman Mataram Islam (Abad 18). Di Jawa terdapat tradisi memberi hadiah kepada tokoh yang dianggap berjasa. Raja menghadiahi mereka tanah perdikan, yaitu tanah merdeka.

Baca Juga Ngaji Qonun Asasi NU #7: Wasiat Peradaban Hadratussyaikh

Ketika para pendakwah Islam datang di Nusantara dengan kapasitas kepemimpinan yang kuat, terutama karena kapasitas spiritual mereka yang diakui oleh orang banyak, para pendakwah Islam ini kemudian terserap ke dalam kepempimpinan komunal yang federatif ini.

Wali-wali memiliki kesamaan kedudukan dengan raja. Seperti Sunan Giri punya keraton. Karena Sunan Giri punya fungsi kepemimpinan komunal yang mengatur komunitasnya laksana raja (Prabu Satmata).

Walaupun ada Kesultanan Demak, Keraton Giri masih fungsional, hanya tidak subversif terhadap Demak, hubungannya bersifat konsultatif.

Adapun karena peran wali ada di dalam jaringan pendakwah dan pemimpin Islam saling berkoordinasi satu sama lain, mereka membangun gerakan yang koheren sehingga Nusantara berhasil diislamkan dalam waktu yang relatif cepat, dalam pendapat Agus Sunyoto tidak lebih dari 50 tahun.

Agama dan Politik

Dalam skema negara pasca kemerdekaan, NKRI bukanlah negara agama, melainkan para ulama menyebutnya sebagai darussalam (negara keselamatan). Namun dari sini kemudian timbul problem yang harus dipecah lantaran mayoritas penduduk NKRI saat itu adalah muslim.

Umat Islam, tidak bisa tidak, membutuhkan semacam skema otoritas keagamaan yang bisa membimbing mereka dalam menjalankan perintah dan mengelola praktik komunal lainnya.

Para kiai punya otoritas sendiri, sebagai orang alim yang memang menguasai ilmu yang dibutuhkan untuk menggali hukum. Tetapi dalam skala yang luas dibutuhkan satu otoritas pusat yang berhak melebur perbedaan-perbedaan itu dalam satu hukum yang sama.

Dalam kaidah ushul disebutkan bahwa hukmul haakim yarfa’ul khilaf, dibutuhkan otoritas hakim yang punya wewenang untuk menghilangkan khilfat, karena masyarakat membutuhkan satu norma hukum yang sama yang diikuti umat secara umum.

Baca Juga Ngaji Qonun Asasi NU #6: Pertolongan Allah Menyertai Jamaah

Dengan kata lain, harus ada norma hukum yang dikelola secara kreatif, dengan mendamaikan antara agama dan politik. Oleh karena itu, Hadratussyaikh mendirikan Nahdlatul Ulama sebagai salah satu otoritas agama yang tumbuh dari akar tradisi keulamaan Nusantara yang mampu menaungi problem masyarakat.

Sejak awal ulama tidak mau negara terpisah dari Kesatuan Indonesia, maka hal ini menjadi tekad dan keputusan politik yang sebetulnya keputusan keagamaan dari ulama kita pada waktu itu.

Sayyid Ahmad bin Abdillah As-Saqqaf menilai keagungan Nahdlatul Ulama seperti yang ia tulis sendiri;

“Sesungguhnya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama ini merupakan perhimpunan yang telah menampakkan tanda-tanda menggembirakan, daerah-daerah menyatu, bangunan-bangunannya telah berdiri tegak, lalu kemana kamu akan pergi? Kemana?”

“Wahai orang-orang yang berpaling, jadilah kamu orang-orang pertama, kalau tidak orang-orang yang menyusul (masuk jam’iyyah ini). Jangan sampai ketinggalan, nanti suara penggoncang akan menyerumu dengan goncangan-goncangan”. Wallahu A’lam.

*Naskah ini merupakan saduran dari pengajian Kitab Qonun Asasi NU yang diampu oleh Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf selama bulan Ramadan.

Afrizal QosimAlumni PP Qomaruddin Bungah Gresik

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button