Kisah

Kiai Ali Maksum, Pesantren dan Sepak Bola

PERADABAN.ID – Jagad pesantren adalah makelar budaya. Pesantren menyajikan sajian unik, represif, dan tentunya ideologis. Sajian unik itu, selain terlihat dari masyarakat pesantren sendiri, juga terlihat dari kehidupan luar yang mempengaruhi.

Ranah kehidupan luar dalam pesantren tidak mengganggu tidak pula merusak, tetapi menjadi warna baru yang menemani masyarakat pesantren.

Seperti sepak bola, jenis olahraga yang kepalang mendunia ini, hampir digemari masyarakat dari berbagai kalangan. Gemar yang dimaksud adalah gemar memainkannya juga gemar menonton pertandingannya.

Mulai dari anak-anak, remaja, orang tua, lansia, laki-laki maupun perempuan, bahkan KIai pesantren masuk dalam kategori tersebut.

Baca Juga

Di antara banyak kiai yang gemar sepak bola, tersebutlah Kiai Ali Maksum. Menantu dari Kiai Munawwir, Krapyak Yogyakarta dan guru dari KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Pak Ali, sapaan akrab santri-santri, adalah kiai pengagum bola. Dalam hal bola beliau mengagumi Argentina, yang di era tersebut, masih dipunggawai oleh “Sang Tangan Tuhan”, Diego Armando Maradona.

Kekaguman beliau terhadap Argentina terbilang fanatik. Pasalnya, ketika perhelatan akbar Piala Dunia, Mbah Ali dengan sengaja memasang jadwal pertandingan Piala Dunia di depan rumahnya, tepatnya di jendela rumahnya.

Hal ini, membuat santri yang tidak tahu maksudnya, terheran-heran dan menjadi pembicaraan rutin di setiap asrama santri beliau.

Baca Juga Mengayuh Indonesia yang Lebih Bike

Pertanyaan yang selalu didaras santri beliau adalah pertanyaan “kenapa Pak Ali memasang jadwal pertandingan Piala Dunia di depan rumahnya?”.

Berbagai asumsi jawaban muncul dari para santri. “Mungkin Pak Ali tidak menghendaki kita untuk melihat Piala Dunia sebab jadwal pertandingannya selalu berbenturan dengan jadwal mengaji kita”, ucap Salim dengan rokok ting-we (nglinting dewe) di tangan kanannya.

Asapnya mengepul memenuhi ruangan kamar. Sejenak kamar menjadi hening hanya kopi, asbak, dan kepulan asap rokok Salim yang berani berperan. “Iya, iso wae, kalau kita tidak terlihat dalam pengajian dan ketahuan nonton bola, mesti kenek takzir! mesti kuwi!”, timpal Bejo, yang baru berbicara ketika selesai menyetrika baju dengan setrika arang yang disewanya dari lurah pondok seharga lima perak per pakaiannya.

Mendengar argumen-argumen dari Salim dan Bejo tersebut, para hadirin yang notabene masyarakat kamar diam meng-iya-kan. Mereka memakai terminologi ijma’ bissukuti (bersepakat dengan diam).

Tetapi yang didapati para santri berbeda dengan ekspektasi mereka sebelumnya.

Ketika jama’ah maghrib usai, para santri berbondong-bondong menuju rumah Kiai. Banyak yang terlambat karena tertidur di masjid. Sandal-sandal tertata rapi di depan rumah kiai. Sampai rapinya, dikira tikar, banyak santri yang terpaksa duduk di hamparan sandal tersebut.

Baca Juga

Karena melihat di dalam sudah penuh. Masing-masing dari mereka mencari tempat proporsional yang kompatible bagi bokong mereka, sebab pengajian Kiai tidak sebentar.

Bisa sampai tengah malam. Biasanya sampai sepuluh atau lima belas lembar kiai memaknai kitab kuning yang masih gundul tersebut, kemudian dibandong para santri yang juga memegang kitab yang masih gundul. Yang belum ada maknanya.

Namun, apa dikira, Pak Ali berhenti di lembar ke lima, “wallahu a’lam bisshowab”, ikhtitam Kiai. Sontak para santri merasa wagu. Mereka saling pandang satu sama lain memasang raut muka penuh tanda tanya.

Perlahan sambil menutup kitab, membenahi tempat duduk dan minum sedikit air, yang sebelumnya sudah disediakan Bu Nyai, Pak Ali berujar. “Kang, sakniki Argentina lagi tanding. Aku nonton sek yo, lah itu jadwal pertandingannya sudah saya pasang. Lah, kalau Argentina tanding, kulo dimaklumi kang”, dengan senyum manisnya beliau terkekeh, diikuti para santri yang tadinya merasa bingung. —

Yusuf Ali Syafruddin

Pegiat di Kajian Islam dan Kebangsaan

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button