Opini

Etalase Kenaifan Politik Muhaimin

PERADABAN.ID – Kampanye politik itu ibarat etalase. Di dalam etalase dijajakan produk, mengkilat dari luar. Penjualnya, akan melulu merasionalkan kepada para konsumen yang datang, bahkan akan menggunakan toak kecil, teriak pada orang-orang yang lalu-lalang, terlepas mereka tertarik atau tidak.

Penjual akan tetap sebagai penjual, suaranya akan mengudara bising. Kendati produknya sudah tidak diminati. Sementara pegawainya, dengan tuntutan-tuntutan target, akan melulu ngomong ke mana-mana. Sebab tuntutan, sebab tak ingin dilabelling atasannya sebagai pegawai berkinerja buruk, bahkan bertendensi dipecat.

Begitulah juga politik, produk kampanye akan melulu dibunyikan di manapun. Oleh mereka pekerja partainya, para loyalis yang buta dan dogamtis. Di lorong-lorong kecil, bahkan saat ada bencana pun, dilebarkan ke sosial media, ke grup-grup WA.

Rasionalisasi kapasitas, paling berhak mewakili kelompok tertentu, serta klaim-klaim lainnya akan melulu diobral. Tidak hanya itu, demi kepentingan tertentu, digenalisir. Bahwa seolah-olah, mereprsesentasikan sekaligus menunjang kebutuhan kelompok tertentu. Pun jauh lebih dari itu, membangun berhala politik. Meminta publik memuja-muja dan memaksa menerima.

Baca Juga Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru

Ini kelumrahan perilaku politik kita, satu kenahasan demokrasi Indonesia, yang saat ini diorkestrasi dengan gamblang oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), melalui Ketua Umumnya sendiri, termasuk juga loyalisnya.

Berkecimpung detak kekalutan yang luar biasa di dalamnya. Kontadiksi yang sangat mudah dipahami, bahkan tanpa menggunakan kacamata politik pun. Coba kita seret dari beragam statemen, semisal terkait pemilih yang konon loyal, tetapi di sisi yang lain menyodorkan namanya – jika tidak ingin dikatakan mengemis – ke koalisi dan jaringan politik yang sudah mapan.

Hal ini bukan soal batasan parlementer yang memang PKB tidak mampu, tetapi ketidakpercayaan diri yang akut. Ketidakpercayaan terhadap klaim yang diungkapnya sendiri, kekhawatiran-kekhawatiran yang sudah terendus.

Barangkali kita masih ingat dengan jajak pendapat yang dilakukan di twitter beberapa lalu, menempatkan Ketuanya sebagai sosok yang mendapatkan poling terbanyak. Hasil ini dibingkai sedemikian rupa, dikemas sebagai sosok representatif NU. Tapi benarkah demikian? Bukankah tokoh NU yang saat ini menjabat sebagai wakil presiden juga bagian dari NU.

Kasus poling di atas hanya sekuel kecil yang memperlihatkan kesalahan-kesalahan klaim loyalis Muhaimin, tetapi halu terhadap realitas NU, selalu mengaku paling NU; dijadikan slide yang mudah sekali kita baca dan saksikan. Bukankah jika represetasi dan diterima NU, dia tidak perlu mendikotomi?

Mucullah narasi NU Kultural dan Struktural, sampai pada akhirnya istilah “Sakkarepmu” ditempel pada, yang menurut mereka adalah NU Struktural. Benarkah ini kepatutan mewajahkan NU ke publik? Tentu saja tidak! Sangat disayangkan, dikotomi ini diperuncing sampai pada istilah kiai struktural dan kiai kultural.

Bahwa NU bukan alat politik PKB itu fakta yang harus diterima. Ada dokumen sejarah yang mewasilahkan itu. Bahwa dalam beberapa tulisan ilmiah, NU mempunyai nilai-nilai universal, yang menomenklaturkan orang-orangnya bebas mengendarai partai politik mana pun, sesuai paham dan cara pandang mereka. Semisal dalam buku Aswaja Politisi Nahdlatul Ulama, itu jelas menggambarkan bahwa nilai-nilai politik NU tidak tunggal.

Ironisnya, mereka membalik narasi itu. Digambarkan bahwa NU harus ber-PKB. Bahwa NU membutuhkan PKB, bahwa PKB yang menyundul setiap kepentingan NU. Klaim-klaim beberapa regulasi yang menopang kepentingan elemen NU, ini sangat mengkhawatirkan dan menyesatkan.

Pertama, jika memang mereka dalam praktik politiknya diperuntukkan untuk NU, lantas mengapa setiap produk legislasi yang berpihak kepada NU tidak dianggapnya sebagai kewajiban. Jika demikian, mereka tak ubahnya sedang mengajak transaksi NU. Kedua, PKB bukan partai politik satu-satunya, apalagi pelopor. 2013 silam, justeru PPP yang sudah mengajukan dan mengusulkan RUU Pesantren. Terakhir, PKB tidak bisa pongah, mengingat persetujuan atas disahkannya produk legislasi tersebut, membutuhkan uluran tangan setuju dari fraksi yang lain.

Baca Juga Mengakrabi Peradaban

Belakangan, muncul tulisan yang sangat tendensius, mendudukkan posisi pesantren di bawah PKB. Tulisan ini semakin menunjukkan syahwat keberpihakan yang tidak hanya menampilkan tentang kesombongan, melainkan mendaulat keretakan organisasi politik PKB itu sendiri, serta kesalahpahaman terhadap pesantren itu sendiri.

Partai politik, termasuk PKB, hanyalah ruang aspirasi, muncul atas kehendak masyarakat. Sementara pesantren, sudah mengakar jauh di masyarakat, memberikan dampak-dampak yang sudah sejak lama dirasakan masyarakat positifnya. Mengotak-ngotakkan, apalagi sampai memberikan pemeringkatan, rasa-rasanya tak elok.

Penulis lebih heran lagi, saat membawa-bawa nama Gus Dur dalam PKB pimpinan Muhaimin. Publik yang mengkritik PKB dianggap juga melukai Gus Dur. Realitas politik PKB saat ini sangat berbeda dengan zamannya Gus Dur. Jika ini saja tidak mampu dipahami sebagai realitas politik, barangkali, yang perlu dijajakan PKB dan loyalisnya, bukan produk-produk dan klaim keberpihakannya terhadap NU, melainkan buah-buahan, durian misalnya.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button