Pisau Cukur Gus Yahya
PERADABAN.ID – Pisau cukur, menempel dalam ingatan. Dilontarkan Gus Mus di sela-sela mauidhohnya dalam Konbes NU pekan lalu. Sembari merenungi, saklek pernyataan itu benar. Pisau cukur. Potensi besar yang dimiliki NU, peluang yang harus diretas, kemenangan yang harus diraih.
Gus Mus seperti menegur, pada ke mana NU saat ini. Begitu besar peluang yang bisa direnggut NU, dengan potensi yang dimiliki. Tetapi realitasnya, NU beralih ke pelukan dan pergulatan yang frekuensinya di bawah rata-rata.
Pisau cukur yang hanya digunakan mengiris bawang, begitu selorohnya. Bawang identik dengan dapur, perihal domestik. Dan potensi NU yang besar itu hanya digunakan untuk menyelesaikan dan membangun yang sifatnya internal.
Baca Juga Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru
Bawang dalam komposisi bikin sambal pun, tak terlihat bentuknya. Ia hanya penyedap. Tetapi dipermukaan raib oleh warna merah cabai. Bawang, diiris terkadang menyebabkan pedas bola mata. Gamabarannya, NU melulu disibukkan dengan rebutan-rebutan internal, yang tampaknya teknis dan transaksional.
Kenyataan ini pahit, tapi harus dilihat dari sudut pandang konstruktif. Kasih sayang Gus Mus, begitu luas dan dalamnya terhadap NU. Jamiyah yang berjumlah puluhan juta itu. Gus Mus, sepertinya berpesan, untuk mendudukkan NU pada posisi semula dan sejatinya, menempatkan pada peran dan tanggung jawab NU secara paripurna.
Merawat dan khidmah untuk NU ini pelan-pelan di kuliti. Gus Yahya memulainya. Jamiyah NU ini musti dirawat dalam khidmat yang tegas dan jelas. Elemen-elemen PBNU, Banom dan Lembaga didorong bergerak ke arah itu; mengayomi jamiyah NU. Tidak lagi tumpang tindih, tidak lagi berleyeh-leyeh. Pengurus NU, tak lagi mengenal dan tahu, kapan matahari terbit dan terbenam.
Muncullah kearifan dan kebijaksanaan intelektual. Konteksnya adalah menyongsong 1 (satu) abad usia NU. Intelektualitas itu yang bisa membaca sekaligus bertarung dalam pergulatan masa depan. Ketepatan pola pikir, kemampuan dan kapasitas, menjadi peluru pelatuknya.
Baca Juga Etalase Kenaifan Politik Muhaimin
Manusia akan terus menerus bergulat untuk perubahan norma, untuk memperjuangkan perubahan standar nilai-nilai. Kata Gus Yahya. Nilai dan norma itu tidak beku. Setiap era peradaban mempunyai nilai dan normanya sendiri. Pergulatan itu untuk menandai, kesiapan-kesiapan dan kemauan untuk memenanginya.
Seperti yang dikatakan di atas, inteketualitas sangat penting. Pandangan Gramsci coba saya letakkan di sini. Untuk menjawab, setidaknya dalam hal kecil pergulatan peradaban.
Intelektual organik tutur Gramsci. Menjelaskan fungsional intelektual dalam operasi-operasi kebutuhan masyarakat dan penciptaan sekaligus mengakrabi nilai dan norma.
Intelektualitas bukan hanya soal kepakaran dalam kebutuhan jamiyah NU. Ia musti dibarengi dengan nilai-nilai kultur yang sudah eksis sejak lama. Ia musti dibarengi dengan nilai-nilai agama yang universal. Sehingga, intelektualitas itu dapat menjawab tantangan dan kebutuhannya sendiri.
Pisau cukur dan pergulatan NU ke depan, mau tidak mau harus dibarengi dengan kearifan intelektualitas. Untuk mencerna perubahan itu sendiri, untuk akrab dengan nilai dan normanya, bahkan memenanginya.
Dan itulah yang sedang disiapkan. Bukan tentang pilihan politik kekuasaan yang hingar, dikotomi sana-sini, tetapi untuk peradaban, untuk 100 tahun NU mengabdi, untuk selamanya NU berkhidmah, bagi kemanusian dan segala macam permasalahannya.
One Comment