Opini

Mengakrabi Peradaban

PERADABAN.IDSetiap orang ada zamannya, setiap zaman ada orangnya. Frasa yang kerap kita dengar dan benar rasanya, terutama bagi jamiyah Nahdlatul Ulama (NU). Sekaligus menuntun kita, untuk mengakrabi peradaban.

Berulang kali, bahkan setiap berita dan sambutan Gus Yahya, selalu menyeret pikiran kita untuk mengimajinasikan peradaban. Peradaban yang berisi pembaruan dan kemajuan, membawa lari potensi-potensi menuju titik finish kesejahteraan, sekaligus persaudaraan.

Lalu bagaimana menuju titik itu? Bukankah peradaban adalah hamparan rimba luas yang penuh rintangan dan laku kemauan? Bahkan, peradaban seringkali dihantui lubang hitam benturan, konflik, permusuhan dan darah.

Baca Juga Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru

Di sinilah peluangnya! Peradaban adalah tentang kemauan untuk merasakan kepemilikan bersama, mulai dari rasa luka dan derita yang sama, untuk mencapai kesepakatan duduk bersama mencari klinik penyudahan. Bahkan juga kebahagian dan kesejahteraan, dengan prasyarat kesetaraan dan keadilan di antaranya.

Peradaban adalah tepukan tangan di tengah riuh persaudaraan, dan penghargaan atas perubahan. Perubahan yang niscaya itu harus dilakoni dengan tangan-tangan kemandirian sikap, tapi tidak memaksakan kebenaran internal sektarian dan nepotismenya, untuk digenalisir oleh yang lainnya.

Maka, pola pikir menjadi kuncinya. Pola pikir yang kerap dilontarkan oleh Gus Yahya, sebagai pengakuan atas kesalahan-kesalahan masa lalu, yang tidak bisa dipaksakan apalagi diimplementasikan untuk saat ini.

Satu contohnya adalah tentang pola pikir terhadap agama. Masa lalu telah mencontohkan pola pikir yang beku, penuh fanatisme. Apa yang Gus Yahya sebut sebagai kompetisi politik. Yakni, agama dipandang sebagai kompetisi politik semata, yang mengharuskan antar agama berbenturan untuk mempertahankan keyakinan dan keimanannya yang paling mutlak.

Baca Juga Struktur Inklusif PBNU

Ketika sudah terjadi perubahan demografis, kemajemukan menjadi fakta yang sukar dibantah, pola pikir agama sebagai kompetisi politik, hanya akan membuka terjadinya keterbelahan, keterjarakan sosial, dan akhirnya peperangan, dari ideologi hingga fisik.

Keterbukaan berpikir menjadi kuncinya. Agama yang berbeda-beda itu, mulai ritual sampai keyakinan hakikinnya, harus didudukkan di meja yang sama. Tidak untuk saling menghakimi, melainkan saling berbagi dan melengkapi.

Gus Yahya bahkan dalam beberapa kesempatan, sampai menguliti dan merefleksikan ini ke dalam tubuh organisasi. Nalar mau bekerja, ucapanya. Makna yang sangat dalam untuk menggambarkan keterhubungan organisasi dengan kebutuhan umat.

Ada rekayasa sosial yang saat ini sedang Gus Yahya bangun. Kemaslahatan umat, bisa dipacu dengan kinerja maksimal. Khidmah kepengurusan, bisa terlaksana dengan nomeklatur spesialisasi.

Kapasitas dan kompetensi menjadi gembok spesialisasi. Penempatan atau manajemen kapasitas dan kompetensi harus diolah dan disesuaikan dengan kebutuhan. Bukan karena kedekatan dan titipan, apalagi kepentingan nebeng untuk menebalkan Curriculum Vitae di hadapan perusahaan atau kantor kementerian.

Adalah tepat, teknologi dan informasi yang saat ini menjadi alas peradaban harus dirayu untuk berpihak pada kepentingan peradaban. Tulang punggung operasi organisasi, Gus Yahya mengatakan dengan tegas, adalah memanfaatkan dengan maksimal teknologi informasi.

Seperangkat alat, dari pola pikir hingga teknis menerjemahkan, sudah ditumpuk menjadi satu dokumen penting, saat ini terletak di meja masing-masing personalia. Tinggal membacanya, meakselerasi menjadi program, dan memetik manfaatnya.

Baca Juga Konbes NU Hasilkan 19 Peraturan Perkumpulan

Masa depan adalah pegangan, untuk mempersiapkan kita pada kebaruan-kebaruan yang nyaris tak terduga. Dan yang memenangkannya, adalah mereka yang mempunyai kemauan, pola pikir yang terbuka, serta memanfaatkan fasilitasi kerja sama dan teknologi.

Ujunganya, kita – mau tidak mau –tidak bisa menjauhi peradaban, kita hanya perlu mengakrabi. Terlepas nantinya, kita akan menjadi pelaku, saksi atau justeru menjadi korban dan atau pemenangnya.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button