Opini

Adaptasi (Peradaban) Digital

PERADABAN.ID – Ruang digital memungkinkan kemustahilan menjadi peristiwa, bahkan tragedi. Kita menamainya sebagai peristiwa sebab keberadaanya relatif tidak menyentuh kulit, tetapi menyentuh rasio dan rasa.

Pencarian putera Ridwan Kamil, sapaan akrabnya Eril, yang terseret arus sungai Aare, di Swiss, menjelaskan bagaimana ruang digital mempertemukan banyak kemurungan; kesedihan, doa dan harapan. Semua itu adalah peristiwa, sekaligus tragedi. Titik jumpa kerumunan.

Kerumunan itu tidak hanya terjadi di Jawa Barat, tetapi di laman-laman sosial media yang menyediakan beragam fitur tanggapan, mulai dari sekadar klik emot hingga kolom komentar. Belasungkawa tidak juga berbentuk papan bunga, penghormatan tak lagi berwujud takziah.

Satu lompatan kerumunan yang tidak terjadi dalam novel Entrok-nya Okky Madasari, ketika warga berbondong-bondong untuk menyaksikan tragedi kematian salah satu warga yang sangat misterius.

Baca Juga Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru

Lompatan-lompatan peristiwa yang mengerucut pada bentara globalisasi. Satu narasi peradaban, yang menurut Gus Yahya, menghilangkan sekat keterjarakan fisik maupun non fisik. Realitas yang tidak pernah terjadi, bahkan dibayangkan, pada era-era sebelumnya. Dan sekarang, menjadi udara yang diendus hidung setiap manusia, menerobos jantung dan menjadikannya nyawa.

Kita juga sempat terbelalak dengan laporan perempuan yang mengaku diperkosa di aplikasi digital metaverse. Seolah, kita berada di depan layar kaca besar kemustahilan, tapi di sisi yang bersamaan, kita mengutuk pemerkosaan dalam bentuk apapun. Bagaimana mungkin, pemerkosaan yang identik dengan hubungan fisik itu, justeru terjadi di antara mereka yang duduk di masing-masing ruangannya sendiri. Tapi itulah kejadiannya, dan faktanya melalui pengakuan.

Ruang digital tidak hanya memberikan narasi baru tentang perubahan nilai dan norma, tetapi juga menyeret nilai dan norma lama masuk ke dalamnya. Menjadikan sebuah pintu yang setiap orang berhak memasukinya, memberikan empati dan lain sebagainnya. Dunia tengah memperlihatkan, peradaban yang tidak pernah terbayangkan asal-muasalnya, kini terjadi begitu saja.

Menghindarinya adalah tidak mungkin. Justeru menggauli, adalah pilihan yang tepat. Pilihan adaptif untuk menekankan eksistensi keberadaanya.

Tidak hanya peristiwa dan tragedi sehari-hari, ruang digital melembaga dan dilembagakan. Embrio kesadaran untuk menjadikan digital sebagai tulang punggung kegiatan, sudah tumbuh di rahim masing-masing perencanaan institusi negara maupun sipil.

Baca Juga Abu Jahja Ch. Staqouf

Dan dibanding organisasi yang lain, Nahdlatul Ulama sudah memulainya. Ini diinisiasi oleh Gerakan Pemuda Ansor – banom NU – yang meletakkan kaki di ruang metaverse untuk pertama kalinya, pada hari lahirnya yang ke-88.

Jika Ansor mencerminkan lembaga, aktor-aktor NU sudah terlibat lebih jauh dalam pemikiran-pemikiran global yang mencerminkan keikutsertaannya secara adaptif. Ini tidak hanya bersumber dari pengakuan internal melainkan juga eksternal.

The Economist mengatakan  Gus Dur selalu menyimpan gagasan dan cita-cita besar. Dengan cita-cita besar di dalam kepalanya, dia melibatkan diri dalam berbagai lembaga yang dia pikir bisa membantunya mewujudkan gagasan-gagasannya. Banyak lembaga yang mengakui pemikiran-pemikiran Gus Dur sebagai aktor global yang berlatar NU.

Tulisan AS Laksana di atas barangkali bisa dilengkapi dengan aktor-aktor NU yang lain. Di luar itu, barangkali ada berderet lembaga yang mengakui keterlibatan aktif aktor NU, salah satunya terhadap Gus Yahya. Keterlibatan mereka adalah potret dari pemikiran adaptif terhadap kebaruan-kebaruan perubahan dalam peradaban.

Baca Juga Gus Ulil; Kiai Abbas Peduli terhadap yang Lemah

Pandangan Gus Yahya tentang perubahan dalam tahapan peradaban sebenarnya juga mengisyaratkan patahan-patahan perubahan itu bisa saja terjadi dalam ruang dan konteks yang sama. Yang membedakan adalah bagaimana respon terhadapanya. Keterbukaan akan menghidupkan eksistensi bahkan sumbangsih, sebaliknya jika responnya tidak adaptif, akan berdampak pada keterbelakangan dan ketertinggalan.

Dan kuncinya bukan di ruang digital, atau di ruang manapun ide dan visi itu disalurkan, melainkan terletak pada kemauan untuk beradaptasi dengan perubahan apapun. Adaptasi akan meneguhkan ide dan visi tetap menyala, menyuluhi remang-remang ketidakpastian, kemustahilan-kemustahilan akan peristiwa di masa depan.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button