Kongres GP AnsorOpini

Periuk

PERADABAN.ID – Periuk yang terbuat dari sekepal bata, lebih istimewa saat berada di atas tungku yang di dalamnya berkobar bara merah. Dan kami tahu, saat Ibu bersimpuh di depannya, dia sedang memasak nasi jagung kadang singkong, untuk anaknya, yang diharapkan tumbuh besar dan tidak kelaparan.

Konon, periuk adalah muasal nama sebuah Pelabuhan di Jakarta Utara yang diprakarsai Gubernur Jenderal Johan Wilhelm Vans Lamberge — sebelum Sungai Ciliwung berhenti beroperasi akibat Gunung Salak memuntahkan laharnya dan membuat permukaan Sungai jadi dangkal tak karuan.

Sudah sejak lama Pelabuhan itu tumbuh dengan sibuk dan hiruk pikuk. Barangkali sejak tahun 1883. Desas-desusnya, pernah menjadi pelataran pendakwah turun dari asalnya, lalu oleh Belanda, dijadikan tempat kapal-kapal besar bersandar mengantar hasil dagangannya.

Satu lagi, selain makam yang amat keramat, juga terdapat tragedi di sana. 1984, mulanya hanya soal banner yang minta diturunkan aparat, keesokan dan kemudian selanjutnya, desing bedil mengarah kemana-mana. Puluhan atau ratusan, tidak ada rekap pasti jumlah yang terbunuh.

Periuk – atau Priok – bukan sekadar gelanggang perdagangan. Historiografi sekaligus lanskap sosial sekelilingnya, menggambarkan dia lebih kepada altar, dimana kehidupan dipertaruhkan; dengan cara berdagang, lalu mungkin peperangan hingga nilai-nilai agama yang disebarkan.

Baca juga:

Pernah dalam suatu rutinan tahunan, Presiden Jokowi berpidato di situ. Mungkin acaranya, pelepasan para pemudik. Pelabuhan itu, tak lagi tentang perdagangan yang menjadi panggung bongkahan kotak dibongkar lalu dipasang kembali. Jauh-jauh. Periuk itu lanskap, pelabuhan hanya penamaan.

Dan barangkali, periuk menjadikan kita tahu tentang apa-apa saja yang akan terjadi. Entah sebuah tragedi atau komedi. Tapi bolehlah sesekali, periuk dengan kedalaman maknanya itu, telungkup sebentar untuk naluri kemanusiaan dipanggungkan.

Sebuah transisi, dari dekade kepengurusan dilakukan. Toh, Banyuwangi yang merupakan rahim kelahirannya, tidak jauh berbeda dengan Priok yang sekarang kita sebut sebagai tempat penyebrangan manusia, barang dan atau mungkin kepentingan yang lewat menggunakan jalur laut saja.

Terakhir, jalan menuju lengkung masa depan, bisa jadi dimulai dari pelataran pelabuhan. Pelabuhan dengan segala kisahnya, yang tidak perlu didaurulang geram kelamnya, tetapi diperbarui untuk kebaikan-kebaikan yang lebih mulia untuk kemanusiaan.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button