Berita

Peneliti Al-Mesbar Sebut Gus Yahya sebagai Reformis Indonesia yang Kontroversial

PERADABAN.ID – Peneliti Al-Mesbar Studies & Research Center, Mushtofa Zahran menyebut KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) sebagai pemikir atau reformis Indonesia yang kontroversial.

Meskipun sering memunculkan kontroversi, menurut Zahran, Gus Yahya tetap dianggapnya sebagai pemikir muslim yang memperjuangkan simpul perdamaian, seperti dilansir Peradaban.id dari buletin Al-Mesbar berjudul “Tantangan terhadap Nilai-nilai Kewargaan: Islamisme dan Perang“, Senin (31/10).

Zahran melihat Gus Yahya sebagai seorang pemikir, mengingat beberapa agenda yang dia usung tatkala memangku jabatan Ketua Umum PBNU sebagai bagian dari agenda besar yang mempengaruhi dunia Islam, seperti Halaqah Fiqih Peradaban dan Religion of Twenty (R20) yang dihelat di Bali, 2-3 November 2022.

Selain itu, peneliti dari pusat studi yang berkantor di Uni Emirat Arab (UEA) itu juga melihat Gus Yahya sebagai seorang pemikir muslim yang mewarisi ide-ide Gus Dur dan itu, setidaknya, membuatnya kontroversial tidak hanya di Indonesia tetapi juga di Timur Tengah.

Mungkin anda juga suka

Peneliti Al-Mesbar yang fokus mengkaji gerakan keislaman (harakah Islamiyah) itu menjelaskan setidaknya ada lima konten yang membuat Gus Yahya menjadi pemikir muslim yang patut diperhitungkan dunia Islam.

Pertama, Islam fundamentalis dan Islam Humanis yang oleh Gus Yahya dikristalkan dalam gagasan yang dikenal sebagai Islam moderat (al-mu’tadil).

Kedua, hukum nasional dan syariat Islam, mengamalkan hukum Islam adalah keharusan, tapi juga harus ada yang disesuaikan dengan konteks (al-waqi’iyyah).

Menurut Zahran, Gus Yahya tidak setuju dengan tuntutan menerapkan hukum secara taklid buta, tetapi hukum Islam juga harus mempertimbangkan hukum nasional. Karena itu, untuk mencapai sebuah keseimbangan, harus ada kesepakatan sosial.

Mungkin anda juga suka

Salah satu yang disorot oleh Gus Yahya adalah penggunaan kata “kafir” yang harus dipertimbangkan ulang penggunaannya agar orang Kristen atau minoritas agama lainnya menikmati kesetaraan di mata hukum.

Ketiga, relasi muslim dan umat beragama lain dalam negara. Menurut Gus Yahya yang ditulis oleh Zahran, semangat perang dan konflik adalah warisan Abad Pertengahan dan tidak lagi relevan untuk dunia sekarang.

Mereka yang mempertahankan semangat ini, tulis Zahran, akhirnya mengimajinasikan satu kekhalifahan Muslim secara universal dan mencakup seluruh Muslim secara global.

Keempat, Khilafah Islamiyah dan Nation State, hanyalah sebuah imajinasi dari kelompok ultra-konservatif yang juga cenderung melakukan tindakan intoleran dan bahkan terror, salah satunya ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).

Mungkin anda juga suka

Kelima, Islamofobia dan Barat, menurut Gus Yahya, adalah salah satu hasil dari politisasi Islam. Ketakutan itu, cukup bisa dimengerti karena yang mereka cekokkan ke mereka tentang Islam adalah yang buruk-buruk. Beberapa orang muslim imigran juga berasal dari daerah konflik sehingga mengakibatkan trauma buruk yang ditempelkan kepada mereka.

Di akhir kesimpulan, Musthofa Zahran menjelaskan bahwa ide-ide Gus Yahya yang sudah disampaikan membuat beliau menjadi sosok yang kontroversial, apalagi mengingat status beliau sebagai pemimpin NU—status yang memberi beliau otoritas keagamaan juga modal kultural dan politik yang tinggi dan menggiurkan. Di samping, perjalanan yang ditapaki oleh Gus Yahya saat ini ialah ingin menyelesaikan apa yang sudah dimulai oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button