Opini

Menutup “Ruang Gerak” Wahhabisme di Media Digital

PERADABAN.IDWahhabi sebagai sebuah ideologi, memiliki peranan penting dalam penyebaran ekslusifisme Islam ke seluruh dunia. Sempitnya visi Wahhabi menjadi lahan subur bagi perkembangan terorisme dan ekstremisme.

Baru-baru ini, Gerakan Pemuda Ansor salah satu organisasi kepemudaan di bawah naungan Nahdlatul Ulama dituduh membubarkan pengajian di Surabaya. Padahal secara kronologis, jelas, bahwa justru kader Ansor yang dikhianati.

Kesepakan antara Ansor dan penyelenggara, berkomitmen tidak menghadirkan sang penceramah yang notabene kerap menista amaliyah NU. Tetapi fakta di lapangan, penyelenggara justeru bebal.

Kehadiran penceramah jelas tidak saja mengkhianati kesepakatan, tetapi juga melukai masyarakat di sekitar lokasi pengajian yang mayoritas pendudukan memegang ajaran dan berekspresi ala NU. Hendak ditagih, yang terjadi adalah pemukulan diterima oleh kader Ansor.

Tidak hanya dalam realitas nyata mereka menggemakan segregasi, tetapi juga di ruang-ruang digital. Membangun narasi-narasi yang mereduksi identitas kebangsaan yang beragam, hingga ingin menggeser sistem negara yang dibangun sudah sekian lama dengan pondasi perbedaan.

Baca Juga

Sebagai organisasi yang lahir dari nafas kearifan Islam Nusantara, Nahdlatul Ulama menghimbau pemerintah untuk menutup akun media sosial kelompok Wahhabi yang pada gilirannya seringkali menjadi media penyebar hoaks, ujaran kebencian dan narasi radikal.

Himbauan ini idealnya perlu direspon oleh pemerintah untuk meneduhkan narasi agama di media sosial. Kegaduhan narasi agama yang radikal dan penuh narasi makar di media sosial ini ditengarai diprovokasi oleh media dari kalangan Wahhabi, yang meminjam bahasa Khaled Abou el-Fadl disebut sebagai kalangan Islam Puritan.

Hal ini diperkuat berdasarkan data dari Similarweb (website pengukur dunia digital), beberapa website yang diindikasi sebagai Islam puritan, pada bulan Juni 2020 lalu memiliki jumlah pengunjung yang banyak, bahkan melampaui website-website yang dikelola oleh media keislaman moderat seperti NU dan Muhammadiyah.

Website mereka diikuti oleh banyak netizen seperti almanhaj.or.id (1,7 jt), muslim.or.id (2,6 jt), portal-islam.id (3,25 jt), eramuslim.com (2 jt), dan www.islampos.com (1,9 jt) dan telah dikunjungi oleh total 11,45 juta pengunjung. Jumlah ini terhitung fantastis karena mampu menyaingi bahkan ada yang melampaui website-website Islam moderat seperti, Nu.or.id (3,2 jt) dan Muhammadiyah.or.id (220 rb), (Muhammad Arief, 2020).

Baca Juga Gus Yaqut: Aristoteles dan Teladan Pemimpin Paripurna

Realitas ini pun senada menurut Karen Amstrong bahwa pada bulan Juli tahun 2013, Uni Eropa secara tegas menyatakan Wahhabisme sebagai sumber utama terorisme global. Munculnya Islamofobia di dunia memang tidak bisa lepas dari tindak-tanduk pengaruh Wahhabisme. Wahhabi sebagai sebuah ideologi, memiliki peranan penting dalam penyebaran ekslusifisme Islam ke seluruh dunia. Sempitnya visi Wahhabi menjadi lahan subur bagi perkembangan terorisme dan ekstremisme.

Sebagaimana pernyataan Brigjen. Pol. R. Ahmad Nurwakhid, S.E., MM, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terkait daftar teroris yang ditangkap oleh BNPT yang kebanyakan berafiliasi dengan ideologi Wahhabi. “Kebanyakan dari mereka itu berpaham takfiri, dan sangat ekslusif”, ungkapnya pada Sharing Session “Media Jalan Damai BNPT”, (03/03).

Untuk itu, wacana menutup ruang akses gerak kelompok Wahhabi di media sosial sangatlah penting untuk dilakukan oleh pemerintah. Karena ini merupakan strategi memutus akar dari “hulu ideologi radikal”. Langkah ini merupakan pendekatan yang lebih holistik daripada mereduksi dari hilir; artinya menangkap para kelompok radikal-teroristik yang akan/telah melakukan aksinya.

Baca Juga

Meskipun media keislaman moderat sudah mulai mencuat (naik daun) dewasa ini, seperti Islami.co, Alif.id, Iqra.id, Pesantren.id, Arrahim.id, Hidayatuna.co dan sebagainya. Namun, mereka masih cukup kalah tanding dalam hal keterjangkauan akses dan strategi media kelompok Wahhabi yang sangat adaptable bagi kalangan milenial. Kalangan Wahhabi sangat tangkas dalam soal media, mereka mampu menguasai pasar milenial. Tetapi meskipun demikian, saya kira mereka masih miskin dalam hal metodologi keilmuan Islam dan rujukan otoritatifnya.

Untuk itu, Kemkominfo sebagai melakukan koordinasi dengan Pemerintah dan legislatif di Parlemen—dalam hal ini DPR RI Komisi 1—untuk meregulasi aturan legal penutupan media puritan ala Wahhabi ini. Jangan sampai mereka kemudian semakin merajalela di tengah tsunami informasi dan pengetahuan keislaman, yang sangat mudah diakses oleh kawula muda.

Akhirnya, menutup ruang gerak ideologi wahabbi di ruang digital menjadi suatu keniscayaan yang ditunggu-tunggu para pegiat keislaman moderat. Kepentingan mereka hanya ingin merusak sendi-sendi bangsa dengan ideologi takfiri dan politik mereka. Sebagai ideologi yang berasal dari luar, Wahhabisme memiliki kepentingan asing. Sedangkan hal ini berbanding terbalik dengan ideologi asli Nusantara, yakni misalnya NU dan Muhammadiyah yang pada gilirannya selalu konsisten untuk memerangi narasi radikal dan hanya mengedepankan kepentingan kemaslahatan umat.

Oleh: Ferdiansah, Peneliti di Al Falah Institute Yogyakarta

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button