Opini

Memahami Tasyakuran Kemenangan Bangsa Indonesia

PERADABAN.ID – Melalui hasil hitung cepat (quick count), masyarakat Indonesia sudah dapat mengetahui bahwa pemenang pemilihan presiden dalam Pemilu 2024 adalah pasangan nomor urut 02, Prabowo-Gibran.

Tentu saja, rakyat Indonesia harus menunggu dengan sabar hasil resmi dari pemegang palu penetap, yakni KPU. Kendati dalam aras panjang Pemilu di Indonesia Indonesia, quick count dinilai sebagai metode akademik yang relatif akurat untuk mengukur suara pemenang yang nantinya bakal diumumkan oleh KPU.

Baca juga:

Lantas, kenapa GP Ansor keburu menggelar tasyakuran yang bertajuk kemenangan bangsa Indonesia? Karena acara tersebut bersifat terbuka, boleh saja tafsir berbeda dari tulisan ini perlu dikemukakan.

Penulis melihat, tasyakuran ini diperuntukkan untuk kemenangan rakyat Indonesia dalam menjalankan pesta demokrasi dengan begitu lancar dan sukses. Kita nyaris tidak mendengar – kalau pun ada, mungkin tidak sebesar tahun sebelumnya – petugas penyelenggara di tingkat bawah mengalami kelelahan hingga bertaruh nyawa.

Juga kita tidak mendengar kekisruhan-kekisruhan yang menimbulkan kekerasan dan kerusakan publik akibat dari hasil pemilu versi quick count ini. Bahkan sekaliber berteteran di sosial media, di tanggal 14 Februari setelah pencoblosan, dimanfaatkan warga untuk berkumpul bersama sanak kerabat, atau justeru malah pergi berlibur.

Tasyakuran ini tidak hanya menandai bagaimana antusiasme warga menyalurkan hak politiknya, akan tetapi, hari pemilihan dijadikan wadah silaturahim dan ruang riang gembira.

Tak ayal, Ketua Umum PP GP Ansor Addin Jauharudin bergegas mengucapkan terima kasih dan mengapresiasi warga masyarakat yang sudah berpartisipasi menyerahkan hak politiknya dalam Pemilu 2024.

Kedua, apakah layak tasyakuran di tengah narasi pelanggaran etik masih mengemuka? Sanggahan etik ini nyaris disuarakan oleh sebagian kelompok terdidik yang berlatar dosen, guru besar dan mungkin juga para pakar dalam forum-forum diskusi, termasuk juga dalam sekuel film di babak masa tenang pemilu.

Sanggahan etik ini, saya harus yakinkan diri, mengarah kepada salah satu kandidat yang ketiban menang versi quick count. Sanggahan etik ini yang kemudian dipersonifikasi sebagai bentuk kemunduran demokrasi Indonesia.

Tapi bolehlah kita menengok data yang baru saja dikeluarkan Kompas, bahwa pemilih pasangan yang dituding juga sebagian besar, selain anak mudah, adalah bagian dari kelas menengah.

Perolehan suara berdasarkan pendidikan, Prabowo-Gibran unggul. Kelompok berpendidikan dasar memilih pasangang 02 dengan suara 55.6%, pendidikan menengah 57.4 dan pendidikan tinggi mencapai 41.7%. Dari kelompok pemilih berlatar pendidikan tinggi ini, pasangan 01 berkisar 34.3% dan pasangan 03 mencapai 12.6%.

Baca juga: Gus Yahya: Saya Sudah Gunakan Hak Kuasa Memilih untuk Masa Depan Indonesia

Artinya, kemunduran demokrasi di sini perlu memantaskan diri kepada siapa mereka harus dilabelkan. Karena faktanya, dan mungkin juga sebagai bagian dari evaluasi, tidak general diktum kemunduruan demokrasi itu disepakati oleh kelas sosial tertentu, alih-alih masyarakat berpendidikan dasar dan kelas menegah ke bawah cenderung menggandrungi paslon terpilih versi quick count.

Jangan-jangan, ada keterputusan keterwakilan yang disuarakan sebagian intelektual itu dengan mereka yang disuarakan. Atau bahkan, kata Ulil Abshar Abdalla, rakyat memiliki prioritas lain di luar isu kemunduran demokrasi.

Dengan demikian, tasyakuran ini berarti sebuah panggilan untuk menyudahi pertikaian, kecurigaan, dan ketegangan yang berkembang di tengah masyarakat. Sebuah upaya penggalangan rekonsiliasi seluruh elemen anak bangsa yang sebelumnya terpolarisasi akibat perbedaan pilihan politik.

Kenapa rekonsiliasi? Dalam pembukaan Kongres XVI GP Ansor, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menyebut Ansor sebagai pandu. Kelompok yang selalu diperintah berangkat duluan sebelum tugas besar dimulai.

Tugas untuk mengembalikan persatuan bangsa yang sebelumnya dipenuhi silang perbedaan politik. Rekonsiliasi di antara ketegangan pandangan dan realitas umum yang terjadi. Tidak lain, demi penggarapan kembali cita-cita besar Indonesia, pembangunan Indonesia dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button