Opini

Menjadi NU Pasca 1984

PERADABAN.IDKembali ke Khittah 1926–yang merupakan hasil Muktamar Situbondo 1984–adalah jargon magis yang bisa menampung kemapanan otoritas ulama sebagai seorang ‘aalim yang mampu mengayomi umat (ri’ayatul ummah).

Dalam dua hari ini, kita disodori berita yang mudah diduga. Kroni Partai Kebangkitan Bangsa yang hari ini mengusung Muhaimin Iskandar sebagai cawapres melancarkan narasi sesat yang membawa PBNU.

Bahkan salah satu seruan yang mereka dengungkan adalah mufaraqah dengan PBNU. Dinamika NU selalu menarik, dan mungkin, bagi Gus Ketum, hal ini wajar-wajar saja.  

Desakan yang lebih deras mungkin bergulir di balik akar rumput, yang jamak merasa sebal dengan kelakuan kroni partai tersebut hari-hari ini. Dan kalau mufaraqah pun, bukan perkara runyam bagi PBNU karena di bawah Gus Yahya, PBNU mencoba menjaga jarak dengan partai tertentu.

“Ning Ampel cedak Kaliwungu, wong-wong podo nempel karo NU” kata Gus Yahya dalam suatu kesempatan, yang kemudian diimbuhi dengan kalimat sharih “jangan jadikan NU sebagai komoditas/jualan”.

Baca Juga

Jadi pilihan mufaraqah itu sebenarnya tidak mengusik apalagi merusak tatanan NU sendiri, justru itu merupakan kekeliruan terbesar.

Dulu, KH Wahab Chasbullah secara tegas pernah mengeluarkan keputusan untuk mufaraqah dengan Masyumi karena Kiai Wahab menolak persekutuan antara kuda dengan kusir.

Masyumi bagi kiai kelahiran Jombang tersebut merupakan kusir yang sama sekali tidak memiliki kuda. Sedangkan NU saat itu menjadi Kuda Troya yang mampu mengangkat pamor nahdliyin di kancah perpolitikan nasional.

Perlu diketahui bahwa di era Kiai Wahab, warga Indonesia yang mengaku NU pada tahun 1955 mencapai 18 %, sementara itu 27% di tahun 2005, dan 56,9 di tahun 2023. Di tahun-tahun tersebut, Kiai Wahab dengan tegas memisahkan diri dengan Masyumi karena NU memiliki kepentingan yang lebih besar dari sekedar kepentingan politik praktis belaka.

Tahun 1916, Kiai Wahab mengeluarkan sebuah manifesto berjudul “Syirkatul Inan Murabathah Nahdlatut Tujjar” yang berisi ajakan kepada seluruh warga nahdliyin untuk bersyarikat. Ajakan yang tidak hanya menyerukan sekadar massa melainkan juga persoalan yang lebih mengakar dari permasalahan warga nahdliyin pada umumnya, yaitu ekonomi.

Roda awal dari pergulatan Nahdlatul Ulama dengan begitu lebih luas daripada sekadar persoalan politik praktis semata, melainkan simpul peradaban dari keislaman, kemandirian, dan resiliensi.

Di zaman Gus Dur, tentu Pasca-1984 simpul peradaban itu mulai diotimasi dengan canggih melalui persemaian antar non-state actor  yaitu LSM dan aktivisme lokal. Sehingga dari persoalan demokrasi sampai teknologi pangan bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat pesantren.

Baca Juga

Kembali ke Khittah 1926–yang merupakan hasil Muktamar Situbondo 1984–adalah jargon magis yang bisa menampung kemapanan otoritas ulama sebagai seorang ‘aalim yang mampu mengayomi umat (ri’ayatul ummah).

Ulama sebagai otoritas agama di Indonesia memang unik, mereka bisa menjelajahi ranah yang disukai, mulai politik, pertanian, perdagangan, seni dan teknokrasi. Tapi uniknya mereka juga mampu memberi teladan terpuji bagi gembala-gembala yang terombang-ambing oleh musim dan cuaca.

Sekalipun sebagian masih suka kambuh hingga mengubur dirinya sendiri dalam lembah kumuh, atau meminjam Kiai Wahab, membiarkan dirinya menjadi kuda yang diarak dengan riang gembira oleh kusirnya.  

Sehingga banyak pihak masih memiliki imajinasi bahwa dirinya tak meyakini muruah Khittah 1926 sebagai falsafah dalam berjam’iyyah, justru secara culas mencoba meludahi Khittah 1926 itu sendiri.

Yusuf Ali Syafruddin

Pegiat di Kajian Islam dan Kebangsaan

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button