Opini

Isyarat Peradaban yang Jatuh di Rumah Menteng

PERADABAN.IDYa mungkin lebih tepatnya saya dikasih tumpangan makan dan tidur gratis. Hehehe. Sebelum akhirnya beliau pindah ke ndalem (rumah) yang baru di Menteng, Jakarta Pusat.

Suasana Jumat pagi di Jakarta tampak begitu lebih lengang dibanding biasanya. Saya sendiri asyik menikmati kopi di atas gedung lantai 4 yang ada di Kramat Raya. Di arah selatan, terlihat sebuah gedung yang dulu hampir setiap hari saya kunjungi, gedung PBNU.

Sembari scroll beranda akun Tiktok pribadi, saya melihat banyak video-video berseliweran tentang sosok mubaligh muda yang belakangan viral lantaran ungkapannya beredar luas di tengah masyarakat, Dekengane Pusat.

Mendengar istilah itu, saya jadi ingat cerita-cerita lama tentang sosok Ketua Umum PBNU, Gus Yahya. Saya pun mencoba mengurai memori singkatku nderek (ikut) Gus Yahya, anggap saja sebagai bentuk merayakan Harlah Gus Dur dengan cara yang sangat sederhana.

Bagi saya pribadi, tentu merasa sangat beruntung menjadi salah satu orang yang pernah tinggal satu atap dengan Gus Yahya di Tebet, Jakarta Selatan. Ya mungkin lebih tepatnya saya dikasih tumpangan makan dan tidur gratis. Hehehe. Sebelum akhirnya beliau pindah ke ndalem (rumah) yang baru di Menteng, Jakarta Pusat.

Baca Juga

Kurang lebih sekitar 2 bulan saya merasakan bagaimana nikmatnya nderek Gus Yahya. Beliau sosok Kiai yang sangat-sangat sederhana. Itu bukan pengakuan sepihak. Berdasarkan cerita dari banyak pihak yang sudah lama nderek Gus Yahya, beliau memang pribadi yang sederhana.

Kami (penderek) semua satu rumah rata-rata memanggil Gus Yahya dan Istri dengan panggilan Abah dan Ibu. Dengan panggilan itu saja, menjadi bukti bagaimana kedekatan kami dengan keduanya. Perhatian Gus Yahya dan istri kepada kami semua sudah seperti orang tua kandung.

Bahkan, ketika saya pamitan untuk tidak lagi nderek beliau, dengan kesederhanaannya beliau berkenan menemui orang yang tidak penting seperti saya ini. Keluar kamar memakai sarung dan kaos oblong sambil berkata, “Jare Ibu awakmu arep moleh, opo iyo? Yawis, mangan sek bareng-bareng”, (“Kata Ibu kamu mau pulang, apa iya? Ya sudah, makan dulu bareng-bareng”).

Baca Juga Ga Bahaya Ta?

Cerita-cerita saya mengenai Gus Yahya mungkin tidak terlalu banyak, barangkali hanya seputar kehidupan di ndalem seperti halnya santri-santri melayani para Kiainya dan juga soal kebanggaan saya bisa mencium tangan beliau yang entah sudah tak terhitung berapa kali jumlahnya, baik saat di ndalem maupun di PBNU.

Tapi, ada satu cerita menarik yang selama ini jujur saja kurang berani untuk saya ceritakan. Kalau kata orang Jawa biasa menyebut “mengo mingkem”. Entah, ini sebenarnya layak atau tidak untuk diceritakan. Tapi, jika tidak percaya, maka saya harap cukup untuk dibaca tanpa mencemooh, biarkan saya saja yang tetap meyakini kebenarannya.

Cerita ini datang dari salah satu orang dekatnya Gus Yahya (sebut saja si A) yang sudah lama nderek beliau, mengenai kejadian di ndalem Gus Yahya saat bulan ramadhan tahun 2022.

Baca Juga Ansor-Banser, Gus Yaqut dan Mobile Legends

Saat itu, ada salah satu orang bernama Surya (nama samaran) bersama istrinya sowan ke ndalem Gus Yahya di Menteng. Tujuan kedatangannya, selain silaturrahim, juga untuk pamitan karena akan mudik lebaran 2022. Keduanya pun ditemui oleh Gus Yahya di ruang tamu.

Kebetulan, istri si Surya ini memang sejak kecil penglihatannya agak ‘awas’ (titis). Saat itu, istrinya risih melihat salah satu orang yang jalan mondar-mandir lewat depan Gus Yahya yang sedang duduk. Sebagai seorang santri, tentu ia menganggap itu tingkah yang kurang adab.

Yang membuat istri si Surya ini menangis, adalah saat pandangannya tertuju pada sofa yang ada di ruang tamu. Ada dua sosok Kiai besar yang sedang tersenyum melihat Gus Yahya sedang menemui tamu-tamunya. Sontak pandangannya langsung tertunduk dan membuat ia menangis.

Baca Juga Jangan Pernah Lelah Mencintai Indonesia!

Ia menangis karena jengkel atas tingkah seseorang yang tak punya sopan santun kepada Gus Yahya. Terlebih, dua Kiai yang sedang duduk itu menyaksikannya. Bayangkan, ini Gus Yahya lo. Seorang Kiai, pemimpin PBNU sekaligus putra ulama besar. Jangan serampangan dan sluman-slumun seenaknya tanpa adab berjalan di depan Gus Yahya.

Menyadari istrinya menangis, Surya sadar ada yang tidak beres, lantas ia bertanya, “Ada Apa?”. Barangkali seisi ruangan itu juga heran. Sang istri pun memilih tidak menjawab, dan baru berani menceritakan kejadian-kejadian itu setelah keluar dari ndalem Gus Yahya.

Setelah istrinya menceritakan kejadian di ruang tamu, si Surya mencoba untuk menenangkan istrinya, “Sudah tidak apa-apa. Berdoa saja semoga barokah!”, ujar Surya.

Ketika mendengar cerita dari si A, tentu saya sendiri masih agak kurang percaya. Apa benar? Ya takutnya saya dikerjain. Tapi tidak lama kemudian, ketika saya bertemu dengan Surya, saya pun memberanikan diri untuk bertanya setelah sekian menit ngobrol ngalor-ngidul sebagai pembuka.

Baca Juga

“Kang, apa iya istri sampean menangis saat diajak sowan ke Menteng?” tanyaku penasaran.

“Iya, tapi itu nggak usah dibahas lagi udah”, jawabnya, sekaligus pamungkas atas rasa penasaranku tentang kejadian itu.

Ya Allah, ternyata selama ini Gus Yahya diawasi oleh Mbah Hasyim dan Gus Dur. Atas dasar itu saya meyakini, bahwa perjuangan yang dilakukan Gus Yahya dalam menahkodai Nahdlatul Ulama, insya Allah senantiasa mendapat restunya Mbah Hasyim dan Gus Dur.

Saya pun berdoa di dalam hati. Semoga selama ini ketika saya sungkem, mencium tangan Gus Yahya juga dilihat oleh Mbah Hasyim dan Gus Dur serta diakui sebagai santrinya. Amiin.

Selamat Harlah Gus Dur!

Jakarta, 04 Agustus 2023.

Oleh: Hendra Septiawan (Aktivis dan Pegiat Isu Kebudayaan dan Sosial-Politik)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button