Opini

Habitus Ansor

PERADABAN.ID Bahkan dapat dikatakan bahwa kompleksitas itulah salah satu yang membentuk watak, karakter atau mungkin, mengikuti konsepsi sosiolog Bourdie, semacam habitus Ansor

Yaqut Cholil Qoumas – Ketua Umum GP Ansor

Ada pandangan paradigmatik yang menarik dari sekuel sambutan berjudul Gerakan Pemuda Ansor; Dari Era Kolonial hingga Pasca Reformasi. Pernyataan yang menurut saya membuka bentangan sejarah GP Ansor dalam atlas kebangsaan Indonesia.

Ansor sebagaimana mahfum dipahami sebagai bagian dari Nahdlatul Ulama (NU), pada dasarnya tidak berdiri sendiri. Bahkan mungkin, kehadirannya tidak hanya berdasar pada determinasi kebutuhan NU waktu itu. Tapi lebih luas, adalah kebutuhan sejarah dengan segala mukim dinamikanya.

Berada di bawah ritus penjajahan, semangat perkumpulan menjadi kelumrahan dalam perjalanan menuju dan setelah kemerdekaan.

Secara konstruksi Sejarah, keterlibatan dalam perkumpulan gagasan kiai-kiai NU sukar dibantah. Kiai Wahab pernah satu rumpun dengan Kiai Mas Mansyur – salah satu pimpinan Muhammadiyah – dalam Taswirul Afkar.

Juga hadir perkumpulan bernama Nahdlatul Watan. Salah satu orgnisasi yang mempunyai konsentrasi pada peningkatan pendidikan. Pada perjalanannya, tidak hanya ilmu agama yang diajarkan, akan tetapi juga motivasi kejuangan.

Di awal 90an kekuasaan Ibnu Saud memunculkan kekhawatiran akan meningkatnya intensitas ajaran wahabi di tanah air. Hal ini kemudian direspon dengan pembentukan Komite Hijaz. Yang pada akhirnya tepat di tahun 1926, berdiri NU sebagai organisasi Islam terbesar di dunia seperti yang terlihat sekarang ini.

Semangat berorganisasi para kiai, juga tersemat dalam diri anak muda NU. Pada tahun 1930 terdapat dua organisasi kepemudaan seperti Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air) dan Da’watus Syubban (Panggilan Pemuda). Kedua organisasi kepemudaan ini kemudian mengalami fusi menjadi Nahdlatus Syubban (Kebangkitan Pemuda).

Pada tahun 1931 ada inisiatif menidirikan Persatuan Pemuda Nahdlatul Ulama (PPNU) yang tak lama kemudian menjadi Pemuda Nahdlatul Ulama (PNU). Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, PNU berganti nama menjadi Ansor Nahdlatul Oelama (ANO) pada tahun 1934.

Dan pada 1949, ditandai dengan gairah pemuda NU yang semakin meningkat, saat berkumpul di Surabaya, nama ANO berubah menjadi Gerakan Pemuda Ansor atau GP Ansor.

Melihat sanad sejarah berdirinya Ansor sebagaimana disinggung di atas, tidak lepas dari kondisi di luar NU yang sangat besar. Mulai dari konstelasi ideologi juang kenegaraan dan keagamaan yang mencengkram dari Saudi di Indonesia.

Konstruksi sejarah tersebut yang sampai saat ini masih dipegang teguh oleh GP Ansor dalam beraktivitas. Semangat juangnya masih sama, dalam habitus yang mapan, untuk agama, Indonesia dan kemanusiaan.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button