Opini

Haji, Janji Hati Pada Ilahi: Sebuah Catatan Kaki Petugas Haji

PERADABAN.ID – Di penggal waktu jelang puncak wukuf di Arafah, para jamaah haji menyempatkan diri keluar dari tenda-tenda maktab mereka. Maktab Indonesia dibagi berdasar kloter penerbangan, sebagian ada yang duduk duduk santai sembari mencari udara di luar tenda yang nyatanya lebih panas dari hawa di dalam tenda. Ada juga yang mendekat ke kipas angin uap yang terpasang  di antara jejeran tenda-tenda di padang  Arafah.

Para pekerja dari Bangladesh masih sibuk menyelesaikan pemasangan pintu pagar besi yang belum sempurna selesai dengan alat las dan peralatan lainnnya. Mereka terus bekerja di bawah teriknya matahari yang bisa mencapai 45 ° atau bahkan bisa mencapai angka 48 °.

Masing-masing jamaah sibuk dengan urusannya, ada yang terus melafadzkan kalimat-kalimat talbiyah serta membaca Quran, diantara semua itu ternyata ada seorang ibu yang terus mangawasi dan memperhatikan seksama para pekerja Bangladesh yang berada tak jauh dari kami, di tangannya masih memegang mushaf yang baru saja dibacanya.

 Dalam helaan napas beliau berkata, “Mas kalau saya lihat para pekerja tersebut, saya  jadi teringat pada  bapakku, almarhum dulu juga buruh kasar seperti mareka sambil menunjuk pekerja Bangladesh yang tengah memercikkan api dari karbit yang mareka gunakan, bapakku bekerja tanpa ijazah dan terus tanpa henti mencari nafkah untuk menyekolahkan kami.

Baca Juga

Ibu tersebut  menyatakan, saya juga buruh mas, buruh pabrik dengan pendapatan UMR di Lampung sana, bersama suami saya bekerja untuk bisa bertahan hidup serta menyekolahkan anak-anak, yang penting anak bisa sekolah sudah lebih dari cukup.

Sebuah filosofi kehidupan nrimo, tetapi tidak sebatas nrimo melainkan diikuti dengan makaryo ingnyoto hal yang kadang sulit dicari maknanya walau menggunakan ChatGPT sekalipun.

Cita-cita besarnya hanya satu, ternyata sejak muda telah bertekad untuk bisa pergi haji walaupun ia sadar bila dilihat dari jumlah gaji yang diperoleh keinginan tersebut mustahil dapat terwujud.

Mendengar cerita ibu tersebut, pendengaran dan perhatian makin tercurahkan untuk menyimak dengan seksama setiap bait-bait ceritanya, sang ibu terlihat semakin semangat menceritakan kisah hidupnya pada kami sembari sesekali sesenggukan menahan haru.

Satu dua pertanyaan sesekali kuajukan sebagai upaya memecah keheningan agar tak terkesan menyepelekannya, “apa yang membuat ibu yakin bisa pergi haji” itu pertanyaan mendasar yang kutanyakan.

Baca Juga Fungsi ‘Smart Card’ dari Pemerintah Arab Saudi untuk Jemaah Haji 2024

Tahun 2011 saya nekat mendaftar haji mas, walau saya sadar betul gaji seorang buruh tidaklah seberapa apalagi harus berbagi dengan kebutuhan serta keinginan lainnya. Tapi kami yakin betul bahwa Allah akan memberikan jalan pada kami untuk menuju rumah-Nya.

Kekhawatiran yang awalnya muncul malah menjadi sebuah keyakinan yang terus menyala untuk pergi haji. Hal itulah yang membuat saya dan suami semakin yakin bahwa kami bisa mewujudkan mimpi tersebut.

Saya yakin mas, seyakin-yakinnya kalau ada keinginan yang disertai usaha untuk  berhaji tentu akan dipanggil oleh Allah, itu yang menyakinkan saya mendaftar bersama suami. Akan tetapi 2 tahun yang lalu suami telah lebih dulu dipanggil Yang Maha Kuasa, makanya saya hanya berangkat seorang diri saja.

Baca Juga Kemenag Siapkan 3 Terobosan Canggih untuk Haji Lebih Baik

Siapa yang bisa mengira, kalau saya bisa berangkat haji, padahal teman-temannya yang secara ekonomi lebih mapan bahkan telah mendapatkan posisi di pekerjaannya tetapi sampai saat ini belum punya rencana untuk berhaji. Haji itu panggilan, dipanggil setelah kita ikrarkan janji pada ilahi.

Cerita ibu buruh pabrik lulusan sekolah menengah atas tetapi  punya cita-cita berhaji walaupun dalam  keterbatasan pendapatan semakin membuka makna dari kata kata Haji itu  panggilan. Orang berhaji itu karena niat dan sebab campur tangan Allah Yang Maha Kuasa.

Di sela-sela menjalankan tugas sebagai petugas haji yang khusus melayani lansia dan bimbingan ibadah, banyak cerita serta pengalaman atau bahkan hikmah kehidupan yang diperdengarkan jamaah terkait bagaimana mareka bisa sampai ke Tanah Suci. Bila ukuran kemampuan dimaknai dengan kempuan ekonomi hal tersebut mustahil bisa terlaksana.

Baca Juga Sehat dan Berkah! Inilah Langkah Jamaah Haji untuk Tetap Fit Sepulang dari Tanah Suci

Jauh sebelum puncak haji, saya dipertemukan dengan seorang kakek berusia 85 tahun yang berasal dari Lhoksukon Aceh juga meninggalkan kesan mendalam. Pertemuan tak sengaja itu terjadi karena beliau tersesat lalu diantar ke sektor dimana kami menginap.

Sang kakek bercerita bagaimana ia tersesat dan tidak tahu di mana ia menginap. Mendengar penuturan Bahasa Indonesia yang kental dengan logat serta aksen Aceh yang sangat akrab ditelinga. Tanpa menunggu lama langsung kusapa dengan bahasa Aceh dan ternyata benar adanya beliau berasal dari Aceh.

Sambil menunggu petugas haji dari kloter beliau datang, obrolan santai pun terjadi. Saya tanya kabar kampung beliau yang banyak sekali tambak-tambak ikan. Awalnya saya menduga beliau adalah juragan yang memiliki puluhan petak tambak ikan. Ternyata dugaan saya meleset,  beliau hanya petani kecil yang tidak memiliki ladang persawahan yang luas.

Baca Juga Munas Alim Ulama NU 2023: Bahas Haji, Kecerdasan Buatan, dan Hubungan Ulama-Umara

Beliau menyampaikan hanya memiliki sedikit lahan pertanian saja, dan yang lebih mengagetkan, beliau menyampaikan pelunasan biaya haji murni dari hasil tabungan bertani dari sawah kecil  yang dikumpulkan sedikit demi sedikit selama bertahun-tahun bersama istri tercintanya. Lagi-lagi usaha dan kerja keras bapak tersebut telah membuat saya meneteskan air mata.

Makna mampu berhaji benar-benar bukan terletak pada sedikit banyaknya harta yang dimiliki oleh seseorang, ada orang yang memiliki banyak harta, mempunyai kedudukan yang bagus tapi lupa untuk  meneguhkan cita-cita untuk berhaji.

Haji itu panggilan, panggilan Sang Pencipta yang membalas lambaian kita yang tiada henti melambaikan tangan pada-Nya. Makna istitha’ah yang ditegaskan Allah tidaklah mudah memaknainya. Mampu yang ditegaskan Allah dalam Surat Ali Imran ayat 97 tidak semata-mata mampu harta, akan tetapi juga mampu mengikhlaskan jiwa dan raga untuk terus berikhtiar agar bisa sampai ke Baitullah.

Baca Juga

Mampu harus dimaknai  secara luas, mampu menggerakkan hati untuk mendaftar haji, mampu untuk mengendalikan jiwa dari berbagai hal yang menggoda, puncak kepuasan jiwa seorang muslim paripurna adalah mampu menggenapkan rukun yang sandingkan pada setiap muslim.

Kisah-kisah yang diperdengarkan para jamaah haji terutama terkait dengan bagaimana meramu keinginan untuk menjadi kenyataan harus terus kuperdengarkan dalam setiap kesempatan,

Pesan bundaku tercinta kala tahu aku berhaji karena sebab menjadi petugas haji di tahun 1444 H. Sambil meneteskan air mata beliau memintaku tuk terus berdoa untuk semua kaum muslimin, terutama untuk keluarga kecilku dan berpesan; “ajaklah istrimu untuk bisa berhaji, kalau sulit ajaklah dia umrah bersaammu”.

“Allahumma inni as’aluka ‘ilman nafi’an wa rizqan wasi’an wa shifa’an min kulli da’in wa saqamin bi rahmatika ya arhamarrahimin.” Aamin..Aamin..

Oleh: Alfian Dj, Sekretaris Majelis Hukum HAM PP Muhammadiyah, PPIH Sektor Bandara 2023.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button