Opini

Banalitas Kekerasan dan Mitigasinya

PERADABAN.ID – Peristiwa kekerasan yang terjadi di Pesanggrahan, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu mengakibatkan korban (pelajar berusia 17 tahun) terbaring di rumah sakit. Peristiwa ini menambah daftar panjang kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia. Menukil data Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak, per 1 Januari 2023 kasus kekerasan terjadi sebanyak 3.867. Disebutkan, korban kekerasan yang menimpa laki-laki berjumlah 656 dan yang menimpa terhadap perempuan 3.507.

Turunan dari data di atas, korban kekerasan menurut kelompok umur paling banyak dialami anak, yakni usia 13–17 dengan persentase 31.8 persen. Disusul usia 24-44 20.6 persen, usia 6-2 17.8 persen, usia 18-24 11.5 persen, 0-5 persen 7.4 persen, usia 45-59 4.9 persen dan usia 60 ke atas 0.6 persen. Data di atas tergelar di sekeliling kita, menjadi bayang-bayang yang mengkhawatirkan. Peristiwa demi peristiwa memilukan terjadi dalam bingkai sosial yang patologis.

Ketidakberpikiran

Terakhir, seperti yang menimpa David dalam kasus Pesanggrahan, pelaku ditengarai merupakan putera dari salah satu pejabat di Kementerian Keuangan, yang saat ini tercatat di salah satu kampus di Jakarta. Artinya bahwa tidak ada jaminan bahwa kalangan terdidik, yang notabene berasal dari keluarga ‘mapan’ akan berjarak dengan kehendak melakukan aksi kekerasan. Hal ini melengkapi fakta sosiologis lainnya yang cenderung lumrah dilegitimasi, bahwa kekerasan terjadi karena ketimpangan ekonomi.

Melihat identitas pelaku, dengan gaya hidup menengah ke atas sebagaimana viral di sosial media, kehidupannya jauh dari tebing kemiskinan dan namanya jelas terpampang sebagai mahasiswa program studi ekonomi. Lantas, muncul kecurigaan musabab yang mungkin bisa dituangkan di sini, yakni tentang kejahatan yang terjadi karena –meminjam bahasanya Hannah Arendt– ketidakberpikiran.

Baca Juga Gus Men: Indonesia Dapat Prioritas Tambahan Kuota Jemaah Haji

Ketika Hannah Arendt menjabarkan bahwa kejahatan tidak melulu muncul dari dorongan sifat-sifat iblis, pintu perdebatan mengenai kejahatan menganga. Tesis Arendt, kaitannya dengan tragedi Eichmann, kejahatan muncul dan bisa dilakukan oleh orang yang normal, bahkan mungkin bagi yang tampak biasa-biasa saja.

Kejahatan tidak hanya muncul dari labirin ketidaksadaran. Bagi Arendt kejahatan menyelinap dalam paras yang kehilangan imajinasi dan ketidakberpikiran. Dia tidak membayangkan kengerian yang diakibatkan oleh perbuatan jahatnya. Dialog batin menjadi mati dan jumud. Hakikat kejahatan tidak mampu dipahami sebagai sebuah kejahatan.

Pendapat ini mengantarkan pandangan baru mengenai kejahatan. Bahwa kejahatan, bukan melulu terdorong oleh rasa benci, dengki, dan seterusnya. Melainkan, kejahatan didorong oleh ketidakmampuan ‘kapasitas’ seseorang untuk berpikir. Maka, sematan-sematan yang melekat dalam tubuh pelaku di Pesanggrahan misalnya, bukan ukuran pelaku tidak akan melakukan kejahatan.

Menyandang status mahasiswa, mempunyai orangtua yang merupakan pejabat negara, dan ekonomi yang tidak kekurangan, tak menghalanginya untuk tidak berbuat aksi kejahatan. Faktanya, dia tetap melakukan kekerasan, dengan alasan-alasan yang disebutnya, tetapi tidak disadari imajinasi dan keberpikiran dalam dirinya. Bisa jadi, sematan yang merajut identitas diri sang pelaku itu adalah inang perilaku kekerasan yang dilakukannya.

Baca Juga Mario di Bawah Ketiak Keadilan Polisi

Dirinya, anggaplah bila benar bahwa pelaku adalah salah satu putra dari seorang pejabat dengan kekayaan melimpah, merasa tindakannya bisa bernaung di bawah ketiak kuasa orangtuanya. Ditambah lagi, identitas sosial dalam lanskap pergaulannya yang membuat dirinya merasa banyak teman, dan seterusnya.

Dengan hanya memukul orang lain hingga koma pun, menurutnya bisa jadi tidak akan menjadi perkara yang besar. Si pelaku tidak mampu membaca realitas sosial yang semuanya dimata-matai hukum dan keterbukaan sosial media yang bisa menekannya dengan leluasa. Khawatirnya, justru si pelaku berpikir bahwa hukum bisa dibius dengan segala identitas diri dan sosial yang dimiliknya.

Mitigasi

Diakui atau tidak, kekerasan harus dibantah dengan penegakan hukum yang adil dan transparan. Hukum yang adil ini tidak hanya menjadi sanksi terhadap pelaku, tapi juga menjaga tertib hukum yang bisa menjadi rujukan masyarakat luas, bahwa setiap tindakan akan menimbulkan ganjaran, tak peduli latar sosial-ekonominya. Setiap manusia harus bersikap awas dengan tindakannya sendiri dan dampak dari perbuatannya.

Apabila hukum cenderung lemah, bukan hanya erosi kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum yang terjadi, melainkan juga mencontohkan, dan seolah-olah melakukan ‘pembiaran’ dan ‘pemakluman’ terhadap segala tindak kejahatan. Mitigasi lainnya bisa dilakukan dengan memanfaatkan media, baik konvensional seperti cetak, radio, dan televisi. Atau media yang berbasis pada internet.

Baca Juga Di Abad Kedua, NU Mandiri Secara Ekonomi

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut 86,96 persen penduduk Indonesia menonton televisi pada 2021 dan yang mendengarkan radio 9,85 persen. Sementara mengacu pada data We Are Sosial (Januari 2023), pengguna internet di Indonesia mencapai 212,9 juta atau sekitar 77 persen dari total populasi Indonesia. Trennya meningkat 3,85 persen dari 2022. Rata-rata, orang Indonesia menggunakan internet selama 7 jam 42 menit per hari.

Media menjadi instrumen penting dalam distribusi informasi yang lebih cepat dan efisien bagi masyarakat. Media berbasis internet utamanya, saat ini menjadi perihal yang akrab dengan anak muda (digital native). Internet menjadi tumpuan dari segudang informasi yang diakses oleh anak muda dan juga lintas generasi lainnya.

Media sangat fundamental keberadaannya untuk memitigasi aksi kekerasan. Dia bisa mensosialisasikan pengetahuan tentang kekerasan, mulai dari hulu sampai dengan hilir. Dan, hemat saya Indonesia tidak kekurangan lembaga yang mempunyai otoritas dan orientasi untuk meminimalkan tindak kekerasan, terlebih terhadap anak.

Tinggal bagaimana pemanfaatan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh. Ketimbang, sebagaimana selama ini kerap terjadi, reaktif saat peristiwa-peristiwa nahas itu telah menimbulkan kerugian.

Ahmad Riyadi, Alumni Sosiologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button