Gagasan

NU Sesudah Ini (IV): Mentransformasikan Konstruksi Organisasi

PERADABAN.ID – Konstruksi organisasi adalah keseluruhan rangkaian komponen-komponen yang membentuk bangunan organisasi, seperti organ-organ tubuh membentuk badan atau onderdil membentuk mesin.

Maka konstruksi organisasi meliputi aspek-aspek; struktur, mekanisme-mekanisme, pola-pola hubungan, dan kualifikasi personalia.

Segera setelah NU resmi berdiri, para muasis (pendiri) giat melakukan sosialisasi dan merekrut anggota-anggota. Sesuai dengan nama organisasinya, yang diajak bergabung hanyalah kyai-kyai, bukan kalangan lain. Kyai Abdul Wahab Hasbullah berkeliling ke berbagai daerah, bilamana perlu mendatangi kyai-kyai satu per satu di pesantren masing-masing.

Karenan tanggungan untuk mengasuh santri, kesempatan bagi kyai untuk beraktifitas di luar pesantren jadi terbatas sekali. Maka harus ada yang bisa disuruh-suruh ‘melakoni’ pekerjaan-pekerjaan di luar pesantren, atas nama kyai.

Baca Juga

Berdasarkan nalar itulah dirancang model susunan kepengurusan NU dengan pembagian
“dua kamar”: Syuriah, yakni dewan permusyawaratan kyai yang berwenan untuk menetapkan kebijakan-kebijakan; dan Tanfidziyah, dewan eksekutif yang bertugas melaksanakan kebijakan. Personalia Tanfidziyah pun ditunjuk langsung oleh Syuriah.

Pada masa awal itu, antara struktur formal organisasi dan pesantren-pesantren terjalin kelindan yang tak terpisahkan secara fungsional.

Tingkatan-tingkatan wewenang di antara personalia, yang terkait dengan jabatan-jabatan resmi dalam kepengurusan, sejajar dengan apa yang memang menjadi kesadaran bersama di kalangan pesantren, terlepas dari keberadaan organisasi.

Walaupun seandainya NU tidak pernah didirikan, telah menjadi kesadaran dan pengakuan bersama kalangan pesantren bahwa Hadratussyaikh Kyai Hasyim Asy’ari menempati kedudukan tertinggi di antara kyai-kyai lainnya, disusul Kyai Wahab Hasbullah, Kyai Bisri Syansuri, dan seterusnya.

Baca Juga NU Sesudah Ini (I): Agenda Peradaban Global

Singkat kata, konstruksi organisasi NU merupakan formalisasi dari realitas yang sudah terbentuk dalam konteks budaya tradisional pesantren.

Kyai Mahfudh Shiddiq adalah Ketua Umum Tanfidziyah pertama yang dipilih oleh Muktamirin, alih-alih ditunjuk oleh Rais ‘Aam seperti sebelumnya, yaitu Haji Hasan Gipo. Kyai Mahfudh kemudian memperkenalkan sejumlah inovasi penting, terutama sebagai langkah tanggapan atas pesatnya perkembangan cacah anggota sekaligus tuntutan peran.

Koran “Warta NU” menjadi media yang sungguh dirasakan kehadirannya sebagai penyambung segala kebutuhan komunikasi—mulai urusan organisasi, hubungan dagang, sampai dengan hajat-hajat pribadi dan keluarga—diantara sesame orang NU.

Dengan Gerakan “Mabadi Khaira Ummah”, beliau membuka jalur bagi orang awam—non-kyai—untuk bergabung ke dalam kerangka organisasi NU, walaupun dengan syarat-syarat dan prosedur yang sulit.

Baca Juga Governing The NU (VI): Strategi Transformasi, Muatan dan Wadah Transformasi Mentalitas

NU tetap merupakan organisasi ekslusif para kyai, tapi butuh semakin banyak operator-operator lapangan yang tidak terlalu terikat dengan urusan pesantren sehari-hari. Sehingga bisa lebih banyak menyediakan energi bagi NU dan pada saat yang sama terjamin kesetiaan dan integritas moralnya.

Konstruksi organisasi tersebut berubah total ketika pada tahun 1952 Kyai Wahab Hasbullah sebagai Rais ‘Aam memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan hadir secara mandiri sebagai Partai NU untuk ikut berkompetisi dalam Pemilu yang pertama tahun 1955. NU pun lantas beroperasi dalam model sebagaimana lazimnya partai politik.

Maka perubahan-perubahan terjadi meliputi hal-hal sebagai berikut.

  1. Aktivis-aktivis non-kyai diserap secara besar-besaran ke dalam struktur kepemimpinan organisasi, yaitu sektor Tanfidziyah;
  2. Keanggotaan eksklusif untuk kyai diganti dengan kewargaan massal, bahwa barang siapa mencoblos gambar jagad dalam Pemilu, diakui sebagai warga NU dan berhak berpartisipasi hingga dalam proses-proses pembuatan keputusan;
  3. Tingkatan kepengurusan mengikuti tingkatan Pemerintahan, maka dibentuk Pengurus Wilayah untuk setiap provinsi, Pengurus Cabang untuk setiap kabupaten, Majelis Wakil Cabang untuk kecamatan dan Ranting untuk desa tau kelurahan;
  4. Nafkah organisasi yang semula bertumpu pada iuran langsung anggota, kemudian ditumpukan pada kuasa dan upaya-upaya politik untuk mengais seumberdaya-sumberdaya;
  5. Pola penyapaan oleh organisasi kepada warga, yakni konstituen politiknya, didasarkan pada kebutuhan untuk memobilisasi dukungan dengan menonjolkan artikulasi-artikulasi—terkait simbol-simbol—yang menggugah pemihakan terhadap identitas kelompok.

Elemen tradisional yang tetap efektif untuk memelihara koherensi (keterpaduan) adalah pola hubungan antar kyai dalam tatanan kohesi dan hirarki yang alami serta antara para kyai dengan komunitas lingkungannya masing-masing yang diwarnai kesetiaan absolut.

Efektifitas itu masih bertahan hingga generasi kyai-kyai yang mengenyam pendidikan langsung dari para kyai dari generasi Hadratussyaikh Kyai Hasyim Asy’ari, Kyai Machrus Ali, Kyai As’ad Syamsul Arifin, Kyai Ali Maksum, Kyai Abdul Hamid Pasuruan, Kyai Ahmad Abdul Hamid Kendal, dan lain-lain hidup di penghujung era efektifitas yang utuh dari tatanan tradisional tersebut.

Sesudah generasi itu, kekuatan tatanan tradisional semakin terasa memudar.

Kini taka da lagi tatanan hierarki efektif yang alami di antara kyai-kyai. Hubungan di antara mereka pun semakin mencair, demikian pula hubungan antara kyai dengan komunitasnya. Akibatnya, koherensi (keterpaduan) runtuh.

Baca Juga Governing The NU (V): Muatan dan Konstruksi Transformasi Pola Pikir

Ketika NU melepaskan status sebagai partai politik untuk kembali menjadi organisasi sosial (ormas), yaitu dengan bergabung ke dalam Partai Persatuan Pembangunan pada tahun 1973, model organisasional—yang sejatinya terbentuk dalam konteks kebutuhannya sebagai parpol—tetap bertahan. Bahkan setelah NU sepenuhnya keluar dari PPP pada tahun 1984, model itu tidak berubah hingga sekarang. Dari sini kerancuan fungsi antara NU dan PKB dapat dimengerti.

Masalahnya, tidak seperti PKB, NU tidak lagi memiliki fungsi yang langsung dalam agregasi politik. Hal itu menjadikan nilai peran NU tidak juga punya landasan ukur yang pasti. Yang ada tinggal “klaim”. Klaim hak atas saham politik dan klaim kendali atas puluhan juta konstituen. Dua-duanya tak ada dalam kenyataan. Sedangkan klaim atas jasa masa lalu jelas tak berguna tanpa kinerja politik yang nyata.

Semua itu hanyalah sebagian gambaran dari kesenjangan antara pola pikir dan kenyataan, antara model konstruksi dan konteks realitas. Jika keadaan ini dibiarkan, hanya soal waktu, tidak lama lagi, organisasi NU akan menjadi tidak relevan bagi siapa pun. Tidak bagi lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi lain, tidak juga bagi warganya sendiri. Bahkan jama’ah (komunitas) NU terancam mencair dan larut tanpa makna di tengah masyarakat.

وَلِكُلِّ اُمَّةٍ اَجَلٌۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَّلَا يَسْتَقْدِمُوْنَ

“Wa Likulli ummatin ajal. Faa idzaa jaa-a ajaluhum falaa yasta-khiruuna saa’atan walaa yastaqdimun”.

“Bagi setiap umat tempo ajalnya. Dan saat tiba ajal mereka, tak bisa mereka menunda walau sesaat dan tak bisa pula memajukan”. (surat al-A’raf:34)

Baca Juga

Di sisi lain:

“Innallaaha yab’atsu lihaadzih ummati fii ra-si kulli mi-ati sanatin man yujaddidu lahaa diinahaa”

“Sesungguhnya Allah membangkitkan bagi ummat ini di penghujung setiap seratus tahun orang yang merevitalisasi demi mereka agama mereka”.

Kalau penginnya tajdid (revitalisasi) ya harus bangkit dengan strategi dan kerja berlipat-lipat lebih keras. Strategi sistemik tak mungkin diharapkan datang dari jama’ah (komunitas). Harus dari jam’iyyah (organisasi).

Mentransformasikan konstruksi kadaluwarsa yang semakin tidak relevan ini menuju konstruksi baru yang bisa dioperasikan secara efektif, bukan hanya untuk membuka jalan keluar bagi kemandulan NU sendiri, tapi juga bagi keringkihan bangsa, kemelut Dunia Islam, bahkan kemerosotan Peradaban Umat Manusia.

Kalau sampeyan pilih terima ajal, silakan tidur saja.

Related Articles

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button