Gagasan

Ngaji Qonun Asasi NU #2: Back to Syariah

PERADABAN.ID Pertanyaan yang muncul belakangan adalah ketika syariah dihadapkan kepada realitas lahir pemikiran-pemikiran, bagaimana kita menghadapi hal tersebut?

Dua ayat di Muqaddimah Qonun Asasi NU yang dikutip oleh Hadratussyaikh sebelumnya merupakan hakikat dari keulamaan. Ayat-ayat selanjutnya menjelaskan perihal bagaimana seharusnya sikap umat dalam menerima seruan agama.

Ayat ketiga, Qs. Az-Zumar (17-18) menurut Gus Yahya ayat tersebut merupakan ayat yang berisi himbauan kepada masyarakat di tengah perbincangan perihal seruan ideologi atau paham yang muncul dari berbagai pihak.

Gus Yahya kemudian mendefinisikan kutipan dari ayat tersebut yaitu toghut. Toghut atau tiran atau Tuhan palsu merupakan sesuatu atau pihak yang seolah-olah menguasai diri kita, sehingga kita tidak bisa lepas darinya. Padahal ia bukan Allah.

Toghut bisa berupa banyak wajah, seperti lingkungan pergaulan yang toxic—karena seolah-olah kita tidak bisa lepas dari dirinya. Karir dan pekerjaan—karena seolah-olah tanpanya kita runtuh.

Baca Juga Berita dan Informasi Gus Yahya terbaru

Maka melalui ayat ini, Hadratussyaikh ingin agar umat Islam mendengar seruan dari ulama’usyariah yang mengajak kepada agama Allah. Barangsiapa yang mendengar seruan tersebut mereka adalah orang yang mendapat petunjuk dari Allah dan mendapat pengetahuan yang sebaik-baiknya.

Senada dengan bunyi ayat ketiga, Ayat keempat, Qs. Al-Isra (111) juga menjelaskan perihal bagaimana kita seharusnya mengagungkan Allah seagung-agungnya. Memuliakan kekasih-kekasih Allah semata-mata karena Allah mengasihi mereka, bukan karena mereka menjadi sekutu Allah dalam kekuasan-Nya.

Ketika kita berjuang untuk agama Allah bukan karena Allah lemah, sehingga butuh ditolong, butuh dibela, tapi semata-mata karena perintah untuk memperjuangkan agama Allah.

Berhati-hati dalam Menerima Seruan

Ayat kelima Qs. Al-An’am (153) menjadi ayat peringatan bagi umat Islam untuk menahan diri mengikuti berbagai jalan/paham alternatif.

Gus Yahya menilai pada zaman ini, kita mendengar sekian banyak seruan-seruan yang kedengarannya indah, berakar pada nilai-nilai mulia.

Misal, seruan paham sosialisme bahwa struktur masyarakat harus dirombak menjadi struktur yang setara secara mutlak. Seruan feminisme, memberdayakan kaum perempuan. Seruan inklusivisme seksual menghormati orang-orang dengan orientasi seksual apapun, termasuk homoseksual dan lain-lain.

Ketiga contoh tersebut merupakan seruan yang dipaket dalam alur nalar yang kedengarannya mulia. Tapi tidak bisa kita menerima begitu saja, Hadratussyaikh tetap ingin mengembalikan segala paham itu pada prinsip ajaran Allah Swt.

Baca Juga Keluarga Global

Gus Yahya lantas mengisahkan ketika beliau pernah mengutarakan perkataan yang menggigit kepada muslimat NU; “Jangan pernah ikut-ikutan gerakan feminisme”.

Karena menurutnya, setiap seruan baru yang ada harus dikembalikan kepada jalan Allah. Bahwa tholabul ilmi faridotun ala kulli muslimin wa muslimat, mengembangkan kapasitas diri itu wajib bagi muslim laki-laki maupun perempuan. Maka baik laki-laki maupun perempuan harus mendapat akses yang setara tanpa ada perbedaan sama sekali.

Dengan pemahaman seperti itu, kita tidak melenceng dari jalan Allah itu sendiri. Karena inti dari agama adalah taqwa, dan inti kemuliaan manusia sendiri itu taqwa.

Pertanyaan yang muncul belakangan adalah ketika syariah dihadapkan kepada realitas lahir pemikiran-pemikiran, bagaimana kita menghadapi hal tersebut?

Empat Sumber Hukum

Menurut Gus Yahya tetap dikembalikan ke dalam kerangka syariah. Dan hal ini hanya bisa dilakukan oleh para ulama, seperti yang tertuang dalam ayat kelima, Qs. An-Nisa’ (59).

Baca Juga Abu Jahja Ch. Staqouf

Ayat tersebut menggambarkan empat sumber hukum dari Ahlussunnah Wal Jamaah, yaitu: athi’ullah (Al-Qur’an), wa athii’urrasul (Sunah), wa ulil amri (Ijma’ para Ulama Syariah), dan fa rudduhu ilallahi wa rasulihi (Qiyas kepada Al-Qur’an dan Sunnah).

Orang mungkin punya pertimbangan lain, tapi cara dengan menggunakan empat sumber hukum ini merupakan cara yang baik, dan membawa konsekuensi-konsekuensi paling maslahat untuk kehidupan kita.

Lantas, kenapa Hadratussyaikh memilih ayat-ayat ini dan menyusunnya sedemikian rupa?

Karena untuk membuat struktur uraian sesuai dengan apa yang beliau pikirkan mengenai jamiyah Nahdlatul Ulama, kedudukan para ulama, membuat keputusan mengenai masalah yang dihadapi dalam masyarakat yaitu dengan prinsip Aswaja yang menjadikan Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas sebagai sumber hukum. 

*Naskah ini merupakan transkip dari pengajian Kitab Qonun Asasi NU yang diampu oleh Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf selama bulan Ramadan di kediaman beliau.

Afrizal QosimAlumni PP Qomaruddin Bungah Gresik, Pimred Peradaban.id

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button