Opini

Lainnya dari Serambi

PERADABAN.ID – Kantong kursi pesawat di baris ke-4 menuju Aceh, berisi beberapa berkas petunjuk keselamatan, lainnya berisi daftar pariwisata.

Pesona di masing-masing gambar, ditempel nyaris memenuhi halaman, sepintas tertera keterangan feature di bawahnya. Genap di halaman 44, tulisan judul tebal membuat jari terhenti menguliti lembar selanjutnya; MEMPERINGATI HARI KELAHIRAN NABI MUHAMMAD SAW, judul itu berbunyi.

Tradisi ini menjadi istimewa karena memadukan unsur agama Islam dan kearifan lokal setempat yang telah berlangsung turun temurun sejak abad ke-16. Menurut sejarah, perayaan tradisi Maudu Lompoa sudah ada sejak tahun 1621 silam. Saat itu ulama besar Aceh Bernama Sayyid Jalaludin datang ke tanah Talakar untuk menyebarkan agama Islam. Sayyid juga dipercaya sebagai keturunan Nabi yang menetap di Cikoang.

Terang paragraf selanjutnya memotret keunikan perayaan peringatan maulid Nabi, disebutnya Tradisi Maudu Lompoa, bertempat di Takalar, Sulawesi Selatan, digelar setiap 29 Rabiul Awal.

Baca Juga

Pesawat menunduk ke arah aspal landas. Pikiran saya memanggil-manggil bayangan peristiwa masa lalu tentang Aceh, tentang Sayyid Jalaludin itu yang saya baca sebelumnya di pesawat. Selebihnya adalah lainnya tentang serambi.

Pikiran-pikiran itu masih tersumbat di kepala, bahkan saat mobil rombongan bergegas meninggalkan bandara. Selang puluhan menit, pemandangan kapal besar mematung di tengah-tengah rumah penduduk.

Salah seorang berseloroh, sekitar 8 kilo kapal ini dibawa gelombang tsunami, terombang-ambing di atas rumah penduduk yang mulai tertutup air laut. Banyak orang menaiki kapal ini untuk menyelamatkan diri, jelasnya.

Cerita ini menggenapkan isak kemanusiaan, saat di lain tempat, pandangan mata melihat lubang sumur berisi nama-nama korban peristiwa 2004 lalu itu, dan lorong berbunyi deras gemuruh ombak, miniatur deru yang mengejar kebingungan manusia.

Kapal itu ‘Bahtera’nya Aceh, pikirku. Dan Aceh telah melaluinya, kita musti belajar menjadi lebih kuat darinya.

Baca Juga

Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru

Tak berselang lama, rombongan menuju pelabuhan yang menghubungkan Banda Aceh dengan Sabang, beranda terdepan Indonesia di ujung barat. Tumpukan-tumpukan bukit dan gunung saling menyaut dengan bibir pantai, rindang dedaunan yang hijau mencubit jendela kaca bis rombongan.

Di jarak-jarak tertentu, masjid berdiri, sapaan ramah warga, serta obrolan gurih dari teman samping saya yang kebetulan adalah asli orang Aceh, melengkapi kesimpulan saya bahwa, Aceh tidak melulu tentang cambuk.

Aceh mempunyai sejarah sendiri yang tidak bisa disamakan dengan kita atau mereka yang ada di luarnya. Ketakutan dan keinginan yang saling berkelindan, serta harapan-harapan yang hilang. Entah akibat ketegangan politik, atau karena tamparan cobaan berupa gelombang tsunami.

Dan itu semua, cukup untuk melengkapi kontruksi Aceh. Dia punya karakter tegas, sekaligus sangat halus. Dia punya konsistensi, sekaligus bisa terbuka melakukan dialog.

Di tengah suasana itulah, KH Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur sapaan karibnya, melintas. Salah satu tokoh, hemat saya, yang mengedepankan empati dan humanis di pusaran konflik Aceh. Kebijakannya menjaga jarak milteristik, sekaligus menghindari kacamata Jakarta dalam melihat Aceh.

Dari pelbagai pertemuan itulah Gus Dur menemukan resep penyelesaian Aceh melalui pihak ketiga, kata Tenku Kemal Fasya. Masyarakat Aceh terlanjur tidak percaya kepada Jakarta. Gus Dur memercayakan kepada Hassan Wairajuda sebagai ketua tim lobi untuk menggandeng sebuah LSM internasional, Henry Dunant Centre (HDC) yang berlokasi di Davos, Swiss. Pada 2 Juni 2020, hadirlah kesepakatan internasional pertama dalam sejarah republik ini untuk Aceh, yaitu Jeda Kemanusiaan (Humanitarian Pause).

Ada setumpuk irisan Aceh dengan Gus Dur. Ada kedekatan antara Gus Dur dan Ibrahim Woyla. Bahkan konon, dirinya yang mengatakan bahwa Gus Dur sudah waktunya turun setelah berdoa dan mengusap-usap kursi kepresidenan, dan Gus Dur tidak menunggu lama, keluar dari Istana dengan lambaian perpisahan.

Kita berhak berbicara dari sudut pandang yang berbeda, atau justeru menguatkan. Bahwa Aceh dengan segala sejarahnya, dengan segala keramahan dan keindahannya. Berikut juga tentang Gus Dur saat melihat Aceh.   

Keduanya, teramat berharga untuk disamarkan.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button