Opini

Kretek dan Asap, Kepulan Kemanusiaan Palestina

PERADABAN.ID – Saking kebelet tenarnya, tak ada satu pun teman yang saya jumpai, tidak bertukar cerita tentang Jeng Iyah: Gadis Kretek.

Dan seperti biasa, saya adalah penonton yang buta nama-nama, sebab memang tidak terlalu tertarik mengingat nama-nama. Terutama nama asli si pemeran, atau mungkin penulis naskah novel yang diadopsi, sutradara dan lainnya.

Jeng Yah, sebagaimana laiknya perempuan Jawa punya prinsip punya pandangan, dengan perlawanan yang khas. Kebaya dan jariknya sebagai identitas, asap kreteknya sebagai bentuk yang lain. Bentuk yang mungkin, bisa diakrobatkan sebagai ketidaksepakatan terhadap kelaziman yang mapan.

Dengan kepulan asap rokok berbusana kebaya dan jarik, Jeng Yah meminta ketertarikan penonton. Menyatukan sekuel demi sekuel bias sosial dari yang (dianggap) seharusnya. Satu adegan bak sihir, kendati tidak menjadi satu-satunya. Dan mungkin banyak sekali dalam serial maupun film satu kali putar, juga memamerkan perempuan merokok.

Doona, film Korea yang tak terlalu berjarak jadwal tayangnya, juga pemeran utamanya perokok. Saya tidak tahu nama aslinya, apalagi sutradaranya.

Sama halnya, dalam serial Gadis Kretek, siapa penulis novel dan sutradaranya, pun tidak mengerti. Temanku hanya bilang, penulis novelnya istri dari Eka Kurniawan, sutradaranya kalau tidak keliru saya mendengar, menantu atau anak dari Garin Nugroho.

Saya tidak betul-betul mengingatnya. Satu kelemahan saya sebagai penonton serial dan film biasa, yang malas mencari-cari di mesin canggih bernama Google.

Baca juga:

Mengenai asap yang keluar dari satu lubang mulut dan dua sisi hidung perempuan, selalu dan memang, menimbulkan sumbing pendapat. Doona, pernah suatu ketika – dibilang awas paru-paru, ada yang menghitungnya sampai 17 kali. Riwayat ini saya tidak tahu salah benarnya. Satu omelan, yang bisa berbeda jika adalah laki-laki yang memperagakannya.

Gadis Kretek, Jeng Yah itu pun tak memotong kesan sumbing. Ada saja yang omelan. Tapi nada itu tampaknya tenggelam di balik aktingnya yang anggun, tidak membosankan.

Satu hal lagi, di antara rokok dan asapnya, mendayuh gradasi warna kemanusiaan. Asap rokok, kepulannya yang diputar-putar udara, menyembunyikan deru derita, keinginan tersembunyi, yang kelak hanya bisa dilihatnya oleh Soeraja.

Makanya ketika Soeraja melihat Jeng Yah dengan tatapan kebebasan, mata itu menembus lubuk kalbunya. Mata itu tajam merobek asap-asap yang menebal di sekitar dinding pabrik kretek dan ruangan pembuatan saus, tirai-tirai yang menempel di balik pintu dan jendela rumah.

Tapi kenyataannya, bukan asap kretek yang membuat sedak sesak paru-parunya, melainkan keinginan yang direnggutnya: cinta, kebebasan, perjuangan. Asap, hanya membuat kabur dan kusam warna kemanusiaan, tidak membuat luntur warna kebaya dan jariknya. Asap menyembunyikan nilai laten yang berubin di pabrik, ruang racik saus dan rumahnya.

Ah, Jeng Yah dan Soeraja yang tidak jadi kabul di pelaminan. Melinting nasib yang dibawanya hingga mati. Terkutuklah sudah, aroma-aroma anyir yang mengungkung semua milik dan keinginannya.

Baca juga:

Demikianlah asap, kisah-kisah tragedi juga banyak ditutupi olehnya. Palestina, juga terkepung asap granat, bom dan senjata Israel. Agresi beringas yang menempel tubuh demi tubuh dengan runtuh gedung berdinding batu. Asap menutupinya, dari kemungkinan-kemungkinan kemanusian dibicarakan: mata-mata yang terlelap sebelum waktu tidurnya.

Siapa yang melihatnya, adalah mereka yang mempunyai naluri kepedulian akan kemanusiaan. Bukan yang sekadar hadir memanfaatkan dengan silang komentar. Tapi ketekunan dan komitmen berkelanjutan. Dari kata dan perbuatan yang satu dengan yang lain, tak pernah dua arah dan bersimpang.

Demikian juga, dari sekian yang berdiri tegak dan pantang balik badan terhadap kemanusiaan, membersamai Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi yang baru saja genap 100 tahun itu, tak terhitung berdiri untuk asap-asap yang menindih sesak napas kemanusiaan.

Tata nilai, kosep, cara berpikir dan implementasi tindakan satu arah untuk kemanusiaan. Untuk kemerdekaan Palestina.

Ketua Umumnya Gus Yahya, selalu menenteng berat suara saat Palestina kembali dibedil. Parau suaranya, seperti kemelut risau, kenapa tak kunjung berhenti agresi. Atas kemanusiaan, NU selalu berdiri. Terlebih bagi Palestina, sudah diucap-tindakan berkali-kali.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button