
PERADABAN.ID – Nama As’ad, dipilih KH Syamsul Arifin saat dalam mimpinya ia melihat isteri yang mengandung anak pertamanya, melahirkan bayi yang dua bahunya ada tulisan singa (asad). Petanda itu, yang menggenapkan sosok kesohor nan disegani, kita kenal sebagai Kiai As’ad Syamsul Arifin.
Beliau adalah perantara berdirinya, sekaligus penjaga Nahdlatul Ulama (NU). Adalah Kiai As’ad yang membawa tongkat, disertai dengan pesan surat Thaha ayat 17-23. Tertera, peristiwa itu terjadi pada tahun 1924.
Dan yang kedua, setahun setelahnya, berupa tasbih yang melingkari lehernya, tidak pernah ia sentuh sama sekali sejak Mbah Kholil menitipkannya, kecuali Kiai Hasyim yang mengambilnya sendiri. Bersama dengan tasbih itu, tersemat bacaan asmaul husna, ya qahharu ya jabbaru.
Atas jasanya itu, Kiai Hasyim menitipkan NU. Pesan yang sangat kuat itu terpatri sepanjang masa hidupnya.
Riwayat sejarah, yang mempertemukan pertentangan antara NU terlibat secara praktis dalam politik, dengan NU sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, Kiai As’adlah yang membawanya kembali kepada Khittah 1926.
Baca juga:
Peran yang diambilnya sebagai perantara dan penjaga NU, tidak terbatas pada ruang lingkup ini saja. Bukan hanya NU yang merasakan getaran jasanya. Bukan hanya Nahdliyin yang mengenyam berkah perjuangannya. Tetapi juga, segenap bangsa dengan tumpah darahnya.
Saat Belanda kembali ke Indonesia melancarkan agresi, Kiai As’ad terlibat dalam pertempuran di Surabaya. Beliau, tak segan melucuti pasukan Jepang di Garahan, Jember, Jawa Timur. Karesiden Besuki, menjadi saksi, bagaimana Kiai As’ad bersama pelopornya melucuti senjata milik Belanda, di paruh waktu 1947.
Penulis Tsalats Risa’il dan Tarikh Perjuangan Islam Indonesia ini, mempunyai konsentrasi yang tinggi terhadap pendidikan. Lepas setelah ayahandanya mangkat pada tahun 1951, pesantren yang dilanjutkannya itu mengalami banyak pembaruan.
Sebagai pesantren yang menggunakan metode halaqah dalam transfer keilmuan, lambat laun diubahnya dengan metode klasikal, kendati tidak sepenuhnya ditinggalkan. Sebuah metode yang diilhami dari Shaulatiyah dan Dar al-Ulum Makkah
Sebelum tahun 1968, kala Universitas Nahdlatul Ulama Ibrahimy didirikan, pesantren Sukorejo sudah mempunyai sistem pendidikan dengan jenjang dari Ibtidaiyah hingga Aliyah.
Baca juga:
Kemajuan dalam mendorong ekosistem pendidikan di tubuh pesantren ini, nyatanya juga bukan akhir dari pengabdiannya. Peningkatan taraf sosial dan ekonomi menjadi objek konsentrasinya.
Kesaksian Mahbub terhadapnya, adalah bagaimana Kiai As’ad memimpinkan teknologi madya kaum nelayan sepanjang lor Jawa dan seantero Madura. Pun darinya, kita mengetahui bagaimana Kiai As’ad menyoal pengelompokan kelas elit berikut dampaknya.
Tak terkecuali, keblingeran-nya terhadap pemikiran Khomeini. Perihal lainnya, adalah mengenai negara dengan belantara persoalannya dan pikiran pemecahannya.
Dan dari Kiai As’ad, kita banyak belajar menjadi santri sekaligus ulama pengayom-penjaga, tentang apapun dan segalanya.
*Artikel ini dioalah dari beragam sumber
One Comment