Opini

Pamflet Kusut Kebersatuan Banser-FPI

PERADABAN.ID – Kepada siapa Gus Dur menyebut sosok patriot yang kaya kemanusiaan? Salah satunya terhadap Riyanto, kader Banser yang memeluk tas terorisme, dan ia perjuangkan dengan taruh nyawa. Dimana? Di tempat ‘yang lain’.

Tempat yang pada akhirnya, disebut oleh kelompok radikalis sebagai percik yang kudu dibumihanguskan, dengan apa pun caranya. Dan oleh Riyanto, diyakininya sebagai ufuk keberagaman, bingkai tertinggi mengamini laku toleransi.

Peristiwa awal dekade 2000-an itu memantulkan sebuah perang keyakinan dan ekspresi keagamaan dengan turunan kegiatan ideologis yang bermacam-macam bentuknya.

Satu peristiwa yang menjelaskan dengan sangat purba, bagaimana gejala radikalisme dan pengagum keberagaman teriris terpisah.

Di situlah atribusi menjadi pengingat. Sampai kemudian di akhir 2020, secara tegas negara dan publik menolaknya sebagai entitas civil society. Sebab keberadaannya, tidak lebih hanya merongrong mimpi madani sebagai tata kelola kehidupan masyarakat.

Tidak ada cara jitu untuk membuat keduanya saling beriringan. Pesimis? Bukan juga. Ini bukan soal bagaimana saling jabat tangan itu diperlukan. Ini tentang keyakinan yang bisa saja diekspresikan dengan sangat berbeda dan bertentangan.

Ilustrasi itulah yang membuat saya, saat melihat kutipan video singkat FPI dan Banser bersalaman dianggap sebagai ketercapaian kebersatuan yang berbeda itu, naluri bergeming.

Dengan tambahan caption yang sebenarnya, meruncing pada kepentingan politis. Dan politik praktis itu tidak pada tujuan mulia menyatukan buih radikalisme, atau minimal membuatnya sadar. Ini hanya rencana bejat, yang mensimulasi politik identitas kembali dipanggungkan.

Belakangan, sebagaimana sudah kita ketahui bersama, bahwa sejak deklarasi pencapresan, narasi persatuan Islam menggelinding. Utamanya saat Anis Baswedan dan Muhaimin Iskandar terbit sebagai sebuah pasangan.

Ini hanya reklame iklan, yang muatan jualannya dikemas dengan agama. Keuntungan yang diharapkan elektabilitas suara. Kendati tidak berhasil sampai detik ini.

Ini hanya pamflet kusut. Sampah yang didaur ulang dengan bumbu kebersatuan. Padahal tujuannya, mengiris tipis-tipis kebersamaan.

Sampai pada satu pertanyaan, bagaimana bersatu tapi tidak bersama? Itulah kebenarannya. Sudah sejak dulu mereka itu memusuhi warga Nahdliyin dengan segala pernik tuduhan. Nilai, kultur dan budaya dipisuhi, warisan para ulama dicaci maki.

Lalu ujug-ujug, dengan hanya berbekal sosok yang melulu menenteng identitas NU, mereka menyatakan sudah cair permusuhan. Tidak. PBNU sudah sepakat dan berkomitmen mengistirahatkan identitas NU agar tidak dibawa-bawa ke dalam politik praktis. Jelas bukan?

Tapi pada kenyataannya, ke depan kita yang meyakini mereka sebagai perongrong, akan mengalami letih berkepanjangan dengan keringat yang tidak mudah kering. Tapi inilah baiat, yang sudah terpasung dalam keyakinan dan kesadaran.

Penentangan ini, bukan apa-apa. Tadi dorongan sejarah. Sebagaimana Gus Yahya tuturkan, “Kita tidak boleh khianat dari baiat, tidak boleh bergeser sedikitpun dari qiyadah para ulama”

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button