Opini

Islam Alun-Alun dan Islam Masjid

PERADABAN.ID – Siapa orang Islam di Indonesia yang sekarang layak berbicara tentang kebudayaan dengan meninggalkan Umar Kayam dan Moctar Lubis?

Pertanyaan yang pernah dilontarkan Gus Dur 32 tahun silam itu tidak saya temukan jawabannya ketika mengikuti polemik lagu ‘Joko Tingkir ngombe dawet’ yang hanya menyedot terutama kalangan nahdliyin.

Polemik ini dimulai dari ceramah Gus Muwafiq yang bereaksi keras, bahkan terkesan mengadili dan mengecam penulis lagu tersebut.

Sayang, yang disoroti hanya sebaris dari berbaris-baris liriknya yang indah dan can relate dengan kondisi sosial pencipta lagu hingga masyarakat jalanan pada umumnya.

Ya, kalau diglorifikasi, musik jalanan memang bernuansa frustasi dan cengeng, tapi apakah dua perasaan itu tidak boleh dirayakan?

Perihal Joko Tingkir, saya menduga beliau senang-senang saja namanya terselip di dalam setiap perayaan kebahagiaan masyarakat-masyarakat jalanan yang hanya dinikmati sekedipan mata itu, sebelum tubuh mereka kembali berpeluh keringat.

Mungkin anda juga suka

Joko Tingkir di Jawa, khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah saya kira sudah jadi ‘cultural term’. Dipakai tidak hanya dalam sebuah lagu, suporter sepakbola juga “Laskar Joko Tingkir”.

Cover “Joko Tingkir” ini banyak sekali, baik parikan dan genre musik-nya.

Popular music in present-day memang sudah jadi serum yang menegosiasikan identitas sebagian komunitas. Dengan kata lain, ia memainkan peran vital dialog antara kekuatan lokal, nasional bahkan global.

Isi parikannya metaforis dan positif, yang sering menikmati lagu-lagu seperti itu di kampung-kampung dan bis antar provinsi.

Saya yang besar di era sinema legenda Indosiar cukup mengerti betapa, Joko Tingkir terbukti membangkitkan inspirasi dan membangunkan fantasi banyak orang di negeri-negeri yang jauh.

Mungkin anda juga suka

Musik itu tak ayal menjadi teman setia yang setiap harinya diputar bagi mereka.

Musik itu juga menjadi resapan suara bagi mereka yang terbelenggu keadaan.

Musik itu juga yang menyuntik serum daya hidup bagi kuli bangunan yang kepanasan, tukang becak yang tidur beratap topi lusuhnya dan sopir bis dengan bertumpuk daki di handuknya itu, terlanjur diremehkan.

Baru begitu, nuansa musik pop jalanan itu sudah dikambing-hitamkan.

Islam itu membonsai beberapa entitas kebudayaan sebagai alat dakwah. Islam alun-alun sebagai representasi dari kelompok Islam yang melakukan pembonsaian itu sedikit sekali yang mencampuri urusan di luar kepentingan umat, tapi Islam masjid yang seharusnya menjadi otokritik dipakai sebagai label untuk mengadili.

Remy Sylado tak tanggung-tanggung menyebut nuansa musik itu sebagai musik manja, tidak panjang pikir, bebal, tak dewasa, sakit jiwa, membiakkan kebodohan, lembek, tak senonoh dan seterusnya.

Gus Muwafiq dan umat Islam yang ikut membuat ‘pengadilan sendiri itu’ mengingatkanku pada Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh yang mengadili sebuah box di PUBG yang dianggap menyerupai Ka’bah.  

Coba sekalian tanyakan, berapa masyarakat fakir miskin yang perlu disantuni di 40 rumah di sekitar rumah mereka?

Yusuf Ali Syafruddin

Pegiat di Kajian Islam dan Kebangsaan

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button