Opini

Gus Dur, Gus Yahya dan Sepakbola

Peradaban.id – Jauh sebelum Liga Santri dan lahirnya talenta muda dari kaum santri, sepakbola sebenarnya sudah akrab dengan NU. Keduanya satu tarikan nafas, saling berkelindan. Tentu saja, dengan hiasan dan irama yang unik.

Sore main bola, pagi sekolah dan malam ngaji, jamak dilihat di lingkungan santri. Barangkali tanpa sepatu, atau pakai sarung, mainpun jadi.

Berbicara sepakbola, ingatan terpatri pada sosok Gus Dur. Ia gemar bermain dan menonton sepakbola, sekaligus mahir menganalisa dan memprediksi. Gus Dur juga sepak bola itu sendiri.

Pemikiran dan analisanya terkadang sukar diprediksi. Ide dan kebijak-kebijakannya berada di luar kerumunan pikiran orang kebanyakan. Tapi Gus Dur juga dikritisi sekaligus dicintai.

Kendati diselipi humor dan apa adanya, publik tetap akan memposisikan tulisan Gus Dur sebagai sesuatu yang serius, penuh makna dan masukan konstruktif, termasuk tulisan dan uraiannya tentang sepakbola.

Romo Sindhunata, kerap berkirim pesan kepada Gus Dur. Melalui kolom. Pun Gus Dur tak gagap membalasnya.

Tahun 2000-an, dilansir panditfootbal.com, Sindhunata menulis dua kolom untuk Gus Dur, yakni Sepak Bola Ala Gus Dur dan Cattenacio Politik Gus Dur. Kurang lebih dua-duanya tentang Gus Dur dan perkembangan demokrasi di Indonesia.

Gus Dur membalas kolom kedua dengan sangat terbuka. Menurutnya, Cattenacio hanya digunakan untuk menghadapi kasus Pansus (Bulog) saja. Dan untuk keseluruhan perkembangan di Indonesia dibutuhkan tidak hanya satu strategi saja (Andreas, 2017).

Baca Juga: Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru

Lengkap! Bahasa sepakbola menjadi senjata metafor Gus Dur menjelaskan situasi politik dan demokrasi Indonesia. Tanpa harus mengambil bahasa berkelit dan susah dipahami. Bahasa-bahasa sepakbola, memang bahasa lumrah dan mudah dimengerti.

Tak heran, Gus Dur di salah satu kolomnya mengatakan sepakbola merupakan bagian kehidupan atau sebaliknya.

Kembali ke pesantren, sepakbola juga mengisahkan hal-hal yang menjegal katup bibir untuk tertutup, melulu melahirkan tawa.

Beda Gus Dur, unik pula Gus Yahya. Ketua Umum PBNU ini pernah berseloroh dalam Sepakbola Beling atawa Sepakbola Jagoan (2010). Singkat cerita, Gus Kholil sang Kapten sekaligus pendekar tangguh pemberani tidak terima teman satu timnya diganjal lawan.

Ia memburu si pengganjal itu sampai membuatnya lari terbirit-birit. Pemain lawan yang lain pun jadi segan alias takut.

Baca Juga: PBNU Menolak Lemot!

Sampai di ujung gawang lawan, yang kipernya tak lain merupakan adiknya sendiri, Gus Mustofa.

Bola yang dibawa Gus Kholil dibiarkan menggelinding ke samping. Kemudian Gus Kholil menubruk adiknya sampai mereka pun berkelahi sejadi-jadinya. Lantaran sebelumnya, Gus Mustofa, berkacak pinggang menantang alih-alih menangkap bola.

Kisah-kisah sepakbola, dari yang serius atau bikin ngakak sekalipun di lingkungan NU, sadar tidak sadar adalah perwujudan NU sendiri. Di tubuh NU, akan ada orang yang begitu jenius, ada juga yang alim, tapi juga tak sedikit yang dagel.

Gus Dur dan Gus Yahya pun, di tengah banyak sekali kesamaan – dalam artian Gus Yahya memikul, mewarisi sekaligus menerjemahkan pemikiran Gus Dur – keduanya juga terdapat tirai perbedaan. Seperti memandang sepakbola.

Taktik politik NU, taktik mempertahankan ideologi, Pancasila, agama dan negara, bisa diartikulasikan dari lapangan sepakbola. NU sudah tahu caranya bertahan, NU juga tahu caranya bermain sekaligus menyerang. Ke semuanya itu, adalah pondasi dan bingkai NU dalam setiap perjalanan sejarah NU dan Indonesia.

Jadi, bagaimanapun NU saat ini, adalah sepakbola yang nikmat untuk ditonton, dikritisi, dipuja dan dicintai.

Atau, menjadi pemain sekalian di dalamnya, membangun solidaritas, menyusun strategi, lalu memperoleh kemenangan.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button