Opini

Menghidupkan Etos Salafi

PERADABAN.ID – Agama yang kini dikelola secara desentralis melalui kanal-kanal daring, memudahkan seseorang untuk belajar agama. Banyak musykilat yang kemudian mudah ditemukan jawabannya di ruang digital.

Lantas unsur apa yang membedakan antara santri dengan orang baru belajar agama?

Ada seorang mahasiswa Indonesia di Afrika Utara yang menolak menggunakan sumber internet sebagai alat menjawab musykilat tugas kuliahnya. Dia memilih bertanya kepada guru untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan musykil tersebut.

Perilaku ini terdengar selaras dengan bunyi Surat an-Nahl: 43 “fas’aluu ahla adz-dzikri in kuntum laa ta’lamuun”, maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.

Rata-rata mahasiwa tipe ini merupakan mahasiswa yang mengambil fokus jurusan agama, dan salah satunya mahasiswa di negara Seribu Benteng, Maroko.

Baca Juga: Ragam Pikir tentang Agama

Ketika ditanya, kenapa lebih memilih manhaj belajar seperti itu, mereka berdalil bahwa keraguan dalam belajar harus segera ditanyakan kepada seorang guru, dari jawaban seorang guru, murid dapat menyambung jalinan keilmuan yang lebih terpercaya daripada internet.

Dalil ini mempertegas bahwa agama merupakan riwayat (ad-dinu ar-riwayah) sehingga kita tidak bisa seenaknya sendiri dalam melakukan suatu hal, lebih-lebih yang berkaitan erat dengan agama dan ibadah.

Manhaj belajar yang dilakukan oleh tipe mahasiswa tersebut mengesankan sikap sangat menghargai seorang guru dalam proses belajar-mengajar (ta’lim wa ta’allum). Karena ilmu agama sangat menghormati sebuah sanad (genealogi keilmuan), adanya sanad itu karena pentingnya jaringan keilmuan antara guru-murid yang saling mengikat satu sama lain.

Sehingga, bagi mereka, keunggulan wawasan keilmuan tidak hanya menyinggung perihal logika semata, seperti model pendidikan modern, melainkan juga “ribathurruhi wa jasadi”, keterikatan antara ruh dan jasad: rohani. 

Keunggulan adanya sanad ini menjangkau kosmos keilmuan yang paling intim, dalam bahasa Gus Yahya, kosmos keilmuan paling intim itu dalam arti meneguhkan prinsip kesetiaan terhadap ilmu dan mempertahankan kualitas kejernihan sebuah pikiran dalam belajar, begitulah etos salafi bekerja.

Baca Juga: Gus Dur, Gus Yahya dan Sepakbola

Sementara ini, salah satu masalah yang harus kita hadapi sebagai orang pesantren adalah terkait dengan mimbar virtual yang kini menjelma menjadi mimbar baru yang, tidak hanya dijadikan sebagai alat penggiring opini belaka, melainkan sekaligus menjadi alat mobilisasi virtual community.

Fakta pengelolaan agama di ruang digital yang membawa citra pesantren agaknya masih berkutat di lingkaran pesantren sendiri. Sementara ‘golongan mengambang’ lebih tertarik di lingkaran non-pesantren.

Nah, bagaimana citra ini kemudian bisa menjangkau lebih dari itu? Sedang rasa berdigital (sense of digitalizing) seorang santri sudah tidak patut untuk diragukan lagi, namun bagaimana pengelolaan komunitas virtual itu menjadi kapal besar yang sanggup menampung dan mengantarkan masyarakat awam ke pelabuhan yang sepatutnya harus dituju?

Yusuf Ali Syafruddin

Pegiat di Kajian Islam dan Kebangsaan

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button