Opini

Gus Dur, Gus Yahya dan Kesaksian Nyai Muchsinah Terhadapnya

PERADABAN.ID – Gus Yahya mengenakan sarung, kaos putih lengan pendek. Jika penglihatan saya benar, terdapat robekan kecil pada kaos yang dikenakannya, tepat di bagian bahu Gus Yahya.

Di meja mungil berbentuk bundar, seonggok thumbler dan sebungkus rokok kretek membersamai. Sesekali meneguknya, lalu asap mengepul bak tirai transparan menutupi wajah Gus Yahya.

Baca Juga Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru

Tidak banyak pertanyaan, tapi lebih mendengarkan samudera cerita yang disampaikannya. Kami memang kikuk, itu harus diakui. Di antara tiga orang yang duduk di seberangnya, tampak satu teman saya mengotak-ngatik kamera. Ia seperti dihantui rasa sungkan untuk bebas bergerak. Tak seperti biasanya, ia lebih memilih lama duduk ketimbang berdiri bergantian posisi yang bisa dengan luwes mengambil gambar.

Semula Gus Yahya bercerita tentang relevansi fiqh dan perubahan sosial yang dinamis. Lalu melempar imajinasi kami ke Thomas Kuhn hingga akhirnya berbicara tentang aktor penting yang digandrunginya, Gus Dur. Mulai kiprahnya bersama Cak Nur, pembaruan dan khitah NU, sampai jejaring yang dibangunnya di kancah global.

Gus Yahya memang menekuni pemikiran-pemikiran Gus Dur untuk melihat Islam, NU, Indonesia, termasuk sumbangsih perdamaian dalam kemelut kemanuasian dunia. Terang-terangan, Gus Yahya akan “menghidupkan Gus Dur”.

Mungkin baginya, Gus Dur ibarat perpustakaan pemikiran yang tak berkesudahan, referensi perjalanan kiprah dan perannya. Mengamini seloroh teman saya, bahwa keakraban keduanya, terlebih saat mendampingi Gus Dur di pondok termegah Indonesia bernama Istana, menjadi kisah klasik yang tak pernah menua bagi Gus Yahya dan Gus Dur hadir dengan kuat.

Baca Juga Statement Selepas Shalat Jum’at

Maka termasuk penilaian banyak orang terhadap Gus Yahya, tidak akan berjarak jauh sebagaimana Gus Dur dinilai, penuh cibiran sekaligus tepuk tangan. Cibiran karena menganggap Gus Yahya terpleset mendatangi Israel atau Vatikan. Tepuk tangan untuk keberaniannya membentangkan ajaran-ajaran universal yang bisa menghadirkan vaksin atas pandemi arogansi keagamaan-kemanusian.

Hal di atas tidaklah diambil pusing. Setiap orang yang bertindak, menurut Gus Yahya, pasti punya pemuji dan pembenci. Kalau tak ada satu pun orang membecimu, berarti kamu cuma tidur melulu, pungkasnya.

Bertolak ke Rembang, sosok perempuan sepuh dengan tutur lembut dan sesekali melontarkan guyon, berbagi kesaksian lain kendati mempunyai keteririsan yang subtil tentang sosok yang dikagumi Gus Yahya.

Selain Gus Dur, Nyai Hj. Muchsinah Cholil menambahkan bahwa adalah abahnya, KH Cholil Bisri, figur yang juga diidolakannya.

Gus Yahya tidak menyelesaikan karir akademikya di UGM, beliau bercerita. Setelah skripsi, pembimbingnya ke luar negeri dalam durasi yang cukup lama. Hal ini membuat Gus Yahya memilih pulang ke Rembang. Menunggu sepertinya bukan laku yang nyaman bagi Gus Yahya.

Baca Juga Wasekjen PBNU: NU Bukan Partisan

“Kenapa enggak kamu selesaikan?” tanya sang Ibu menyambut kepulangannya ke Rembang.

Halahh, Gus Dur yo mboten rampung kuliahe kok Bu (halah, Gus Dur ya tidak selesai kuliahnya kok Bu),”  Nyai Muchsinah menirukan jawaban Gus Yahya dengan raut bibir melebar beberapa senti.

“Sudah mengidolakan Gus Dur waktu itu,” lanjut Nyai Muchsinah, “lah ndilalah kok, terus dijadikan juru bicaranya waktu itu,” sambungnya.

Meskipun Gus Yahya menjadi juru bicara Gus Dur, Nyai Muchsinah tidak terbawa larut bangga, dan merasa biasa-biasa saja. Beliau hanya terus mendoakan untuk kebaikan bagi semua putera-puteranya. Beliau percaya bahwa posisi, jabatan, serta tanggung jawab yang saat ini diemban putera-puteranya, merupakan pilihan dan kehendak Allah Yang Maha Kuasa.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button