Opini

GKMNU: Kota Kecil, Sosrobahu dan Impian-impiannya

PERADABAN.ID – Struktur daerah penunjang menjadi sosrobahu yang dipakai untuk mengukur rentang kemajuan sebuah kota. Kota-kota kecil beranak-pinak karena persinggungan yang saling paut antara agama, ekonomi dan politik.

Tidak gharib kalau dulu, pasca kemerdekaan, kita mengenal kongsi Cina yang memegang peta relasi kuasa perdagangan di kota-kota, sementara Arab dan kemudian inlander atau pribumi mengekor di belakangnya.

Sahih kalau disebut bahwa pergumulan identitas juga menyertai pergumulan perdagangan. Konteks sosial di Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi potret di mana Sarekat Islam, Nahdlatut Tujjar dan kaum Arab berumah bersama.

Meski secara masygul perkembangan ekonomi umat Islam, terutama di Indonesia cenderung dinilai “gagal” karena sifat organisasi ekonomi yang tidak rasional, dan cenderung bersifat sosial alih-alih bersifat bisnis.

Baca Juga

Selain menjadi benchmark, nomenklatur ekonomi, seperti dagang adalah sosrobahu yang menjadi lantaran akan peluang-peluang ekonomi dan reproduksi gerakan yang lebih jauh. Karena sistem ekonomi tidak hanya berorientasi pada barang, ia menjelma supra-struktur yang bisa mencengkeram apa saja.

Pergumulan yang lantas menjalar pada pergumulan etos ini memberi ruang yang perlu dimampatkan dengan lebih rapih dengan perspektif nalar konstruktif. Sehingga nilai ekonomi tidak berpangku tangan hanya dengan barang, melainkan segala ruas yang bisa bekerja.

Di beberapa kasus, seperti yang ditemukan Irwan Abdullah (1994) di Jatinom Klaten, Jawa Tengah bahwa pribumi mampu menggeser posisi Cina yang berkuasa.

Irwan menyebut terdapat tiga hal yang melandasi pergeseran tersebut; pertama, peranan agama terhadap kegiatan ekonomi. Kedua, perkembangan ekonomi antar sektor, dan ketiga, struktur politik lokal.

Baca Juga Politik Identitas Banua: Refleksi Tahun Politik Kalimantan Selatan

Ketiga peran tersebut saling terpaut dan bekerja secara simultan sebagai potret dari bagaimana di lanskap masyarakat Indonesia yang religius, masih terdapat angin segar di ruang tersebut.

Di samping itu, apa yang belakangan ditemukan oleh Agung Wicaksono (2020) di Pemalang, Jawa Tengah melihat bagaimana ledakan pergeseran kelas menengah perdesaan memuat banyak ruang produktif yang mampu dibangun secara canggih.

Perubahan lanskap demografis ini akan terus berlanjut mengingat isu perpindahan Ibu Kota Negara (IKN) yang masih terus bergulir membuat survei kota nyaman huni mencuat di publik.

Kelas menengah perdesaan ini, bagaimana pun, sebagai sektor primer tata kelola ekonomi memiliki kekuatan dalam mengoperasionalisasi dan membuka peluang-peluang ekonomi baru untuk kesejahteraan umat, minimal 40 rumah di wilayahnya.

Baca Juga

Dalam ruas yang lebih canggih, NU melalui platform Gerakan Keluarga Maslahat Nahdlatul Ulama (GKMNU) mencoba menangkap perubahan lanskap demografis itu dengan membangun sosrobahu dari terciptanya kota-kota kecil yang, tidak berfungsi sekadar penunjang kota-kota besar melainkan palagan akan tercapainya kultivasi syu’un ijtimaiyyah.

Selain itu, persoalan orientasi bisnis yang berhenti hanya pada persoalan untung-rugi menjadi teralihkan karena nuansa sosial-religius yang dapat memberi suntikan lebih kepada pengalaman mereka memonopoli suatu hal.

Ala kulli hal, platform GKMNU bisa mendorong terbentuknya sebuah tatanan masyarakat yang makmur asal tidak menjadi mainan belaka. Hal yang perlu diurus kedepan adalah terjadinya perubahan lanskap demografis lantaran isu pergantian Ibu Kota Negara (IKN) juga perlu dipertimbangkan untuk mempertebal resiliensi dari masyarakat NU, orang-orang desa secara umum.

Yusuf Ali Syafruddin

Pegiat di Kajian Islam dan Kebangsaan

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button