Opini

Beranjak dari Kontroversi ke Konteks: Logo Rakernas LAZISNU, Representasi Peran dan Nexus Organisasi

PERADABAN.ID – Baru-baru ini, muncul diskursus seputar kontroversi logo Rapat Kerja Nasional (Rakernas) LAZISNU di Jakarta, 6-9 September 2024. Sejumlah pihak mengajukan klaim bahwa logo tersebut memiliki kemiripan visual dengan logo gerakan 212, sebuah gerakan yang sempat menjadi subjek perdebatan politik dan ideologis di Indonesia.

Klaim-klaim ini, meskipun belum diverifikasi secara independen, telah mengundang scrutiny terhadap implikasi simbolik dari logo Rakernas dari organisasi filantropi Islam terbesar di Indonesia tersebut.

Kontroversi ini mengilustrasikan kompleksitas interseksi antara seni visual, identitas organisasi, dan persepsi publik dalam konteks sosio-politik Indonesia yang dinamis.

Baca Juga Mengapa GP Ansor Perlu Mempererat Hubungan dengan Vatikan?

Hal ini juga memunculkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang bagaimana simbol-simbol visual diinterpretasikan, dikontestasi, dan dinegosiasikan dalam ruang publik.

Dalam konteks ini, tulisan ini bertujuan untuk melakukan analisis terhadap logo Rakernas LAZISNU, tidak hanya sebagai artefak desain, tetapi juga sebagai focal point dari diskursus yang lebih luas tentang representasi visual, identitas organisasi, dan dinamika sosio-politik di Indonesia.

Sekilas Logo Rakernas

Dalam konteks semiotika visual, logo Rakernas LAZISNU merepresentasikan sejumlah elemen yang sarat makna. Komposisi logo ini menampilkan integrasi harmonis antara tipografi dan ikonografi yang menonjolkan identitas organisasi.

Palet warna yang dipilih, didominasi oleh nuansa hijau, dapat diinterpretasikan sebagai representasi values korporat seperti kepercayaan, stabilitas, dan pertumbuhan.

Baca Juga Moderasi Beragama dalam Memahami Ruang Sakral

Elemen grafis sentral, yang menyerupai bentuk gunungan wayang dan motif lung atau relung, dapat dianalisis sebagai simbol luwes, dinamisme dan fleksibilitas organisasi dalam menghadapi tantangan kontemporer filantropi Islam.

Bentuk Monas di tengah adalah vitualisasi Jakarta sebagai Tuan Rumah Rakernas LAZISNU 2024. Interseksi makna yang lebih dalam, terlihat dari gunungan yang mengerucut ke atas dan campurit wayang yang memperlihatkan LAZISNU sebagai lembaga filantropi yang menyentuh akar sekaligus menjunjung tingg Ke-Agung-an Allah Swt.

Proses kreatif di balik penciptaan logo ini mencerminkan sintesis kompleks antara nilai-nilai tradisional Islam dan estetika modern. Melalui wawancara dengan desainer Ardani Rahmansyah, dapat diidentifikasi bahwa logo ini dimaksudkan untuk menjembatani gap antara warisan kultural Nahdlatul Ulama dan aspirasi LAZISNU sebagai lembaga filantropi yang progresif.

Baca Juga Gus Men dan Revolusi Moderasi Beragama: Membuka Jalan Baru di Kementerian Agama

Interpretasi ini sejalan dengan paradigma branding kontemporer yang menekankan pentingnya visual identity dalam mengomunikasikan visi dan misi organisasi.

Trajektori dan Implikasi Sosial

Untuk memahami signifikansi logo ini secara komprehensif, penting untuk meninjau trajektori historis LAZISNU dan perannya dalam pembangunan sosial-ekonomi di Indonesia.

Sejak pendiriannya di tahun 2004, LAZISNU telah menginisiasi berbagai program yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan, meningkatkan akses pendidikan, dan mempromosikan pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas.

Logo memainkan peran pivotal sebagai nexus antara identitas organisasi dan persepsi publik. Komparasi logo LAZISNU dengan organisasi filantropi Islam lainnya, baik dalam konteks nasional maupun internasional, dapat memberikan insights tentang tren desain kontemporer dalam sektor ini.

Baca Juga Sosok Gus Yahya dan Narasi Nahdlatul Ulama

Pembacaan ini juga menunjukkan bagaimana organisasi-organisasi non-profit menggunakan elemen visual untuk mengomunikasikan nilai-nilai dan misi mereka dalam lanskap sosial yang semakin kompleks.

Karena itu, logo Rakernas LAZISNU, mendemonstrasikan bagaimana elemen visual dapat menjadi subjek interpretasi yang beragam dan terkadang kontroversial.

Namun, lebih dari sekadar simbol grafis, logo ini merepresentasikan narasi yang lebih luas tentang peran filantropi Islam dalam pembangunan sosial di Indonesia. Dengan demikian, diskursus publik seharusnya tidak terbatas pada aspek grafis dari logo semata, tetapi juga mencakup refleksi kritis tentang kontribusi substantif organisasi dalam mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat.

Yusuf Ali Syafruddin

Pegiat di Kajian Islam dan Kebangsaan

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button