Identitas Keluarga dan Kenikmatan Bermandi Bola
PERADABAN.ID – Bunyi tangis, tiba-tiba mengerang. Tepat di samping anak-anak menunggu balon berbentuk replika dinosaurus hadiah setelah mereka selesai mandi bola.
Setelah melewati rel kereta, yang kadang palang pintunya separuh jalan panjangnya, ia selalu muncul dari belokan kiri jalan-jalan utama.
Jalan-jalan utama yang ringan bagi para pengemudi sehabis kerja, memang selalu merayap – sebutan bagi banyaknya kendaraan tapi masih dapat bergerak pelan. Tapi ketika sudah belok kiri dan ketemu rel kereta, bunyi tak selalu datang dari pukulan mesin otomatis seperti klakson. Melainkan teriakan-teriakan kecil dengan mata melongo, dicampur caci maki kalau sudah sampai ke nadi.
Bunyi tangis, tiba-tiba mengerang. Tepat di samping anak-anak menunggu balon berbentuk replika dinosaurus hadiah setelah mereka selesai mandi bola.
“Lima ribu sekian putaran, bisa nambah. Karcis bisa ditukar balon,”
Tangis itu seketika menghentikan ramai. Uluran botol minuman seharga seribuan yang dibelinya di warung kelontong Madura, diacungkannya.
“Minum, Nak,”
“Dia pasti kaget!”
Baca Juga
- Lima Resolusi Progresif 2024, yang Nomor Lima Akan Mengubah Hidup Keluarga Anda
- NU, Akses Kesejahteraan, dan Pemberdayaan Ekonomi Keluarga
Lima jemari tangan si Ibu, tampak gemetar menyentuh dahi, ubun-ubun sampai seluruh bulat kepalanya.
Anak kecil yang terpelanting dari odong-odong berbentuk jaran itu, rupanya tak mengenakan sabuk pengaman yang disediakan. Entah prosedurnya, apakah si pemilik teledor, atau orang tuanya yang harus memakainkannya. Tidak ada papan pengumuman di situ.
Dan pertanyaan ini muncul setelah tubuh si bayi mungil itu sudah berada di tengah-tengah lingkaran rel odong-odong yang berputar. Bukan di awal, saat uang karcis yang dibayarkan.
Seandainya, lokasi odong-odong itu tidak terletak di seberang rel, barangkali akan berbeda cerita. Misalnya di pusat perbelanjaan atau kondominium yang padat. Pastilah prosedur lengkap sudah dilakukan. Atau saat si anak jatuh, berapa banyak obrolan sanggah untuk lekas melakukan evaluasi.
Rupanya, dalam perjalanan pulang yang masih harus menunggu palang kereta terbuka, pikiran yang terus memikirkan hal itu, terbayang satu fenomena yang sebenarnya sangat berjarak, antara kota dan pelatarannya.
Pusat-pusat permainan anak yang hanya bermodal “agar anak bahagia”, tergeletak risiko-risiko yang sukar didapatkan siapa yang harus bertanggung jawab. Dia seolah sampingan yang perlu dikoreksi, karena terlanjur murah dan menyenangkan. Penuh toleransi.
Sepintas pengalaman, yang cacat prosedur itulah, uluran kekerabatan lebih eksis, ketimbang di antara yang lain sibuk menyalahkan apabila terdapat masalah.
Baca Juga
- Keluarga Sakinah, di Tengah Sejarah dan Keberpihakan
- Dear Keluarga Nahdliyin, Ingin Terlihat Edgy di Mata Society? Yuk Mulai dari Sakinah
Pun cerobohnya yang menghasilkan tangisan sakit seorang bayi yang baru jatuh tadi, letupan-letupan kepedulian itu begitu nyata adanya. Barangkali si ibu yang akan memeluk, tapi yang cemas nyaris menempel di seluruh wajah ibu-ibu yang ada di sana.
Satu hal, yang mungkin bisa dipetik manfaatnya – sedikit berlebihan dan spekulatif, selain fenomena yang berbicara jujur dan terus terang, ada ruang pemisah yang menceritakan tentang kecemasan dan kebahagiaan keluarga itu tidak dibuat-dibuat. Air mata memang meneteskan kesedihan, dan tertawa adalah bunyi-bunyi bahagia.
Bukan semua, karena hal-hal yang ingin dipertontonkan. Sebuah keluarga yang nyaman dengan lonceng peringatan kereta akan jalan melintas, tetapi nyaris menghibahkan kebahagiaan pada “serah terima” keberuntungan.
Identitas keluarga dan kenikmatan, tiba-tiba menyala, lalu mengikuti terang-gelap lampu palang pintu kereta.
One Comment