Opini

Tertanam di Jogja, Kemarau Jakarta

PERADABAN.ID – Yang mahal dari “tubuh” itu bukan daging, atau yang dipakainya. Baju baru, hape layar sentuh dengan jepretan kamera paling jernih, atau transportasi yang dikendarainya, bukan barang “istimewa” bagi tubuh. Melainkan, yang tinggal di dalam otak, lalu dikeluarkan lewat lisan dan dibuktikan dengan laku.

Dulunya itu, cerita sahabatku, yang membuat irama dirinya menjadi asing dari gelagat tubuh yang gemerlap. Tubuhnya selalu menyangsikan yang berbau diskon dan semacamnya.

Di warung kopi, dia hidup begitu kusut. Menghabiskan 4 jilid buku milik Pram. Sampai-sampai, dirinya meninggalkan tumpukan SKS di meja kuliahnya, yang dianggapnya terkooptasi konglomerasi. Di sini juga Paulo Freire iya ceritakan habis-habisan.

Hidupnya yang demikian, membuatnya lebih leluasa membaca banyak referensi, berekspresi dalam banyak kegiatan, utamanya di jalanan. Wawasannya terpancar luas, terbuka jendela pengetahuannya. Konstruksi inilah yang membuatnya, mempunyai idealisme. Barang mahal kata sedikit orang.

Baca juga:

Dia mulai memetakan pemikiran dan kejailan ideologi. Yang berkait-kelindan dengan institusi, mulai organisasi mahasiswa sampai partai politik. Sangat kritis berpedapat. Termasuk dalam percaturan dinamika agama, Islam terlebih.

Menggandrungi pemikiran Gus Dur, dan terbitan-terbitan LKiS Jogja, lalu berkenalan dengan banyak pemikiran Ashgar Ali Engineer. Dia lumat semuanya, lalu dimuntahkan ke kelompok kolot dan dogmatisme Islam di kantin belakang kampusnya.

Satu lagi, lingkungan atau mentor – senior mungkin ya – mendukung penuh atas giatnya. Soal pemikiran kritisnya terhadap kejumudan pemikiran Islam yang dikembangkan oleh beberapa kelompok, terus digodok bersama lingkungannya.

Sesekali, dimintanya untuk jeda sebentar diskusinya: “Rokokmu ada? Bisa belikan dulu di depan. Oh ya, kamu sekalian,” ia mengiyakan sambil tangan kanannya menekan perutnya yang sakit karena belum terisi.

Tertanam di Jogja kemarau di Jakarta. Tersentak dengan apa yang “nyata” dimata dan telinganya. Getir, tangannya menggeram di atas bangku kosong duduknya. Semula yang ia yakini menjadi idealismenya, rontok di tengah retak lahan belantara politik.

Baca juga: Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru

Kerja sama politik atau koalisi, rupanya tak mengenal kaktus yang hidupnya di gurun, bisa tertanam di bumi tropis. Dan lebah, membawa banyak bekal minuman layaknya unta.

Saat dia duduk termenung, aku kagetin dan tanya. Dia jawab; “Saya lupa mendiskusikan lebih dalam mengenai Sun Tzu, Machiavelli, dan Hobbes. Dan seniorku itu, juga tak pernah merangsangnya,” jawabnya.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button