Menjernihkan Makna Politik Identitas

PERADABAN.ID – Selama ini, politik identitas seringnya hanya mengatasnamakan satu keyakinan saja, yaitu Islam. Identitas kedaerahan juga kadang dibawa, tetapi lebih masif identitas agama.
Setelah ramai manuver Cak Imin jadi Cawapres, sekarang muncul lagi keramaian gara-gara ada sosok Capres kita yang lain, Ganjar Pranowo di tayangan azan RCTI. Pilpres benar-benar bikin ramai. Saking ramainya, informasi penting bisa jadi tidak penting. Begitu juga sebaliknya. Saling menutupi.
Penting tidaknya masalah itu bergantung seberapa ramai pembahasannya. Soal semacam ini setiap menjelang Pilpres tentu ada. Bahkan tidak perlu menunggu lima tahun sekali. Setiap waktu. Setiap saat. Lantas apa yang penting, jika setiap saat ada. Maka, itu hal yang lumrah terjadi.
Diketahui, stasiun TV tersebut milik Hary Tanoesoedibjo, CEO MNC Group. Pebisnis sekaligus tokoh politik yang belakangan ini sempat jadi pembahasan para netizen. Sungguh senang sekali membuat kontroversi. Sepertinya, politik kita hidup dari banyak kontroversi.
Meski kontroversi punya tujuan kenapa dihadirkan, tetapi tidak semua kontroversi patuh pada kebaikan. Sering buat ricuh. Ibarat motor, belok tanpa menyalakan lampu sein. Lalai tidak menyalakan lampu utama saat berkendara malam. Alhasil nabrak sana-sini.
Baca Juga
Sekeluarganya, dia, istri, sampai anak-anaknya berbondong-bondong nyaleg jadi anggota dewan. Untung cucunya masih kecil. Andai sudah cukup umur, mungkin cucunya juga diikutkan nyaleg.
Semakin ke sini, gampang banget orang jadi dewan. Apalagi kaya. Kelihatannya, ia bingung di mana ia harus membuang uangnya.
Sudah kaya tapi masih saja nyaleg. Kasihan orang-orang yang tidak sekaya dia tapi juga ingin nyaleg. Kelihatannya seperti menutup kesempatan yang lain. Melihat musuhnya sekaya dia, otomatis minder duluan. Sudah kaya, punya media pula. Paket lengkap.
Kalau mereka jadi semua. Saat kumpul keluarga. Yang dibahas bukan soal keluarga, tapi rapat paripurna. Mengkaji kebijakan. Ada ketua sidangnya.
Sebenarnya tak jadi masalah, asal jangan sampai kursi dan palu sidang melayang. Sesama keluarga tidak boleh saling adu argumen, bentak-bentak, hingga berkelahi.
Partainya masuk dalam koalisinya PDIP. Jadi pantas, Ganjar dijadikan talent di tayangan azan RCTI. Yang aneh itu kalau Ganjar masuk tayangan azan di Metro TV miliknya Surya Paloh, Ketua Umum partai Nasdem.
Baca Juga Tertanam di Jogja, Kemarau Jakarta
Sudah otomatis itu menyimpang. Bukan menyimpang dari norma agama, tetapi etika politik. Ada rasa pantas dan tidak pantas. Kalau untuk bermanuver memberi kejutan, mungkin cocok. Tapi harus terencana. Sekali-kali mungkin perlu. Politik sekarang musimnya penuh kejutan, mendadak, dan serba tiba-tiba.
Sebagai penikmat dan pengamat amatir, kita tunggu kejutan lainnya. Pertama-tama mungkin kaget. Kedua ketiga dan seterusnya, biasa. Sama halnya fenomena azan tadi. Apa yang membuat kaget, jika any time fenomena itu terus-menerus ada. Meski variabelnya berbeda.
Secara tempat penayangan, tidak salah. Bahkan sudah pas. Tapi sebagian kalangan mengatakan, yang salah itu kontennya. Bila Ganjar masuk RCTI pada acara masak-masak dengan ibu-ibu, jelas tidak dipersoalkan. Masalahnya ini azan, alat untuk memanggil orang sholat. Apalagi untuk ibadah sakral dan wajib bagi umat muslim.
Lagian, apakah sekarang masih banyak masyarakat yang melihat tayangan azan di TV? Beberapa tahun lalu, sebelum media sosial menyerang. TV masih laku di kalangan rumah tangga. Orang banyak menonton TV dari pada menggunakan gaway. Saat itu mungkin berlaku. Tetapi sekarang, apakah masih tetap diperhitungkan?
Perihal masalah ini, dari sekian banyak pendapat. Ada satu pendapat menarik dari Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat KH Cholil Nafis. Ia berpendapat, politik identitas itu tidak boleh. Sedangkan identitas politik itu keniscayaan.
“Yang tidak boleh itu mengatasnamakan agamanya lalu melarang orang lain menunjukkan kesalihan beragamanya.” jelasnya, dalam Kumparan (11/9).
Baca Juga Partai yang ‘Putus Asa’ Kepada Politik
Menurutnya sah-sah saja apabila ada seseorang menunjukkan kesalihannya di depan orang lain. Yang tidak boleh itu melarang hal tersebut atas dasar kesalihannya. Sehingga melarang dengan dasar agamanya.
Maksud dari identitas politik yaitu menegaskan kembali identitasnya. Sebagai orang muslim berarti ia menegaskan kemuslimannya. Sebagai orang Jawa, berarti menegaskan kembali kejawaannya.
Cuma, ketika identitas politik dikampanyekan dengan maksud tertentu, hasilnya sama saja. Di dalamnya ada proses mempolitisasi identitas.
Seorang Capres tidak mungkin hanya cuma-cuma menunjukkan identitasnya. Justru dari identitas tersebut, diharapkan kelompok yang punya kedekatan dengan identitas itu muncul rasa empati. Akhirnya ada tendensi. Ujung-ujungnya dapat suara.
Sederhananya politik identitas itu kegiatan dengan maksud mempolitisasi identitas. Baik dari daerah, budaya, tradisi, dan lain sebagainya. Kalau orang berkampanye di Masjid, menggunakan masjid untuk kampanye, apakah hal tersebut tidak bisa dikatakan sebagai politik identitas? Mempolitisasi tempat beribadah.
Dimaklumi saja. Masing-masing kelompok punya pandangan. Tak masalah. Itu wajar. Ada yang terbuka. Ada yang tertutup. Mau menerima atau tidak, tak jadi soal. Dalam politik, pandangan seseorang ditentukan pada posisi apa dia berpendapat.
Baca Juga Menghakimi Kelakar, Apa yang Salah?
Sebagai lawan politik misalnya, tentu harus bersebrangan. Pendapat A tidak boleh ditanggapi dengan pendapat sama. Harus dengan pendapat B, C, bahkan D. Justru aneh kalau sama. Tidak konsisten.
Cuma selama ini, politik identitas seringnya hanya mengatasnamakan satu keyakinan saja, yaitu Islam. Identitas kedaerahan juga kadang dibawa, tetapi lebih masif identitas agama. Sebagai mayoritas, kadang kala menurut mereka mungkin penting dimanfaatkan.
Jika hanya sekadar tampil di tayangan azan sudah diasumsikan sebagai politik identitas, apakah tidak sama dengan ketika pejabat berkampanye di pondok pesantren. Safari pondok sana-sini. Niat awalnya silaturahmi minta restu.
Tidak sekadar itu. Di pondok ada banyak elemen, terutama Kiainya. Apa yang dipilih Kiainya, tentu bisa jadi dipilih juga oleh santri-santrinya, jamaahnya, masyarakat sekitar dan umum yang punya kedekatan. Itu namanya pengaruh. Makanya banyak politisi datang ke sana.
Lalu bagaimana juga dengan orang-orang yang mencalonkan diri dari pondok pesantren. Kemudian ia membuat narasi bahwa dia adalah wakil dari pondok. Mewakili organisasi masyarakat Islam misalnya. Bagaimana dengan itu?
Baca Juga
- Politik Religiositas: Praktik Mempercantik Diri Jelang Pemilu
- Politik Kemanusiaan Sebagai Jalan Melawan Politik Identitas
Kalau kita mau adil, coba berpikir lebih jernih dan terbuka. Jika tidak begitu, takutnya malah pikiran kita yang dipolitisasi. Logika kita jauh dengan hal-hal yang bersifat logis. Hasilnya, kita akan sering menyempitkan bahasa, mengaplikasikan bahasa dalam konteks sosial dengan semau kita sendiri.
Menteri Agama, Gus Yaqut nama panggilannya mewanti-wanti, agar kita melihat track record para Capres nanti. Pernah tidak ia punya rekam jejak memecah belah umat menggunakan agama.
Aslinya bagus juga andaikan identitas dibawa di rana politik. Cuma jangan hanya agama. Sekali-kali identitas daerah, budaya, tradisi, bahasa, dan sebagainya. Hitung-hitung dalam rangka upaya memperkenalkan dan mensosialisasikan.
Hanya saja selama ini yang dibawa selalu agama untuk memperkenalkan dirinya. Agama sudah bukan lagi subjek, melainkan sekadar objek, media, alat. Yang subjek adalah dirinya.
Memang, agama sulit diperankan sebagai subjek. Sebab yang penting bukan agamanya, melainkan dirinya. Itu merembet pada banyak hal. Misalnya kebijakan. Dalam kebijakan, yang penting bukan kebijakannya, tetapi keuntungan jika kebijakan itu diputuskan dan diterapkan.
Selama kepentingan masih ada dalam balutan nafsu, agama hanya diperkenankan sebagai alat. Apalagi pada rana politik yang syarat akan kepentingan.
Oleh: Ahmad Baharuddin Surya, Penulis dan Pengajar di SMA Progresif Bumi Shalawat Sidoarjo.