Berita

Teladan Kebijakan Sanering dan Kebiasaan Lazim Praktik Korupsi

PERADABAN.ID – Dalam Konferensi Meja Bundar, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Kabar baik ini, nyatanya menimbulkan dampak yang begitu besar. Indonesia harus membayar Rp1,5 triliun utang luar negeri dan Rp2,8 triliun utang dalam negeri.

Inflasi terjadi, harga mahal meroket. Negara defisit menyentuh angka Rp5,1 miliar. Langkah diambil pemerintah kala itu, dengan melakukan kebijakan sanering. Semua uang yang bernilai 5 gulden ke atas dipotong separuhnya.

Kebijakan sanering yang diusulkan oleh Menteri Keuangan Kabinet Hatta II ini dinilai tidak akan menjadi beban rakyat kecil. Pecahan di atas 5 gulden hanya dimiliki rakyat yang ekonominya menengah ke atas.

Kebijakan ini, membuat Tengku Halimah kaget dan terhenyak. Gaji yang biasanya didapatkan sang suami, tinggal separuh. Rupanya, kebijakan ini tidak diceritakan sang Menteri kepada isterinya.

“Kok tidak bilang-bilang?” tiru Anggota Bidang Studi Hukum Pidana FHUI Gandjar Laksmana Bonaprapta dalam kegiatan ToT Kusemai Nilai di Jakarta, Jumat (27/10/2023).

“Kalau bilang-bilang tidak rahasia, dong!” jawab sang Suami.

Kendati yang terhenyak adalah sang isteri nyatanya juga dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia itu dikenal dengan sebutan Gunting Syafruddin.

Baca juga:

Kisah ini menurut Gandjar, memberi teladan bagaimana peletakan posisi seorang Syafruddin sebagai pejabat dan sebagai suami. Dirinya mampu memisahkan wewenangnya saat menjadi pejabat saat berada di luar kantor.

“Ini mengisahkan bagaimana pembagian kapasitas sebagai menteri dan sebagai seorang suami,” imbuhnya.

Lain cerita di atas, praktik kelaziman koruptif kadang juga menyasar tingkat paling mikro, seperti mengurus KTP di kelurahan.

Seorang ibu mempunyai anak yang beranjak usia 17 tahun. Untuk mengurusnya ke kelurahan, sang Ibu menanyakan kepada tetangga “ucapak terima kasih” yang layak.

Dua puluh ribu yang diberikannya, ternyata juga membuat lancar proses administrasi pembuatan KTP. Sang ibu menceritakan kembali kepada tetangannya bahwa dengan ucapan terima kasih, prosesnya menjadi cepat.

Kelaziman ini kalau semisal ditangkap oleh pihak berwenang, nyatanya juga akan menimbulkan reaksi dari publik yang beragam. Tentu ada yang mengapresiasi, dan mungkin juga ada yang mengatakan, “harusnya yang korupsi besar-besaran, triliunan saja yang di tangkap,”

“Sebelum berangkat ke kelurahan nanya berapa orang dulu, ini semacam konsul ke tetangga. Tapi betul setelah ngasih uang cepat dan itu diceritakan ke tetangga,” ceritanya.

Ilustrasi kisah di atas, memperlihatkan bahwa praktik korupsi tidak mengenal jumlah besar-kecil atau tempat. Atau bahkan ada habitat yang dianggap lazim. Seperti merasionalisasi tindakan koruptif di tingkat paling kecil, dalam kehidupan sehari-hari.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button