Opini

Statement Selepas Shalat Jum’at

PERADABAN.ID – Sehabis shalat Jum’at, biasanya Gus Dur memberi statement kenegaraan untuk disampaikan ke publik, dengan tanpa briefing alias mak-njegagik begitu saja.

Kondisi ini membuat Wimar Witoelar, Adhie Massardi, Gus Yahya, dan Wahyu Muryadi para Jubir Presiden Gus Dur kelabakan.

“Kadang-kadang kalau enggak ikut jumatan sama Gus Dur, pas habis shalat kami kelabakan [sebab] wartawan minta komentar statement Presiden awal. Awal-awal mules, tapi lama-lama ya sudahlah, sama-sama ngarang ini,” tutur Gus Yahya seperti yang saya kutip dari wawancara Gus Yahya dengan redaksi tirto.id (08/07/22).  

Menjadi Jubir Presiden adalah kisah klasik yang tak pernah menua bagi Gus Yahya karena Gus Dur hadir dengan kuat; menebar benih-benih uswah yang memberi Gus Yahya nafas panjang dalam mengingat dan lalu melanjutkan perjuangannya.  

Misalnya, Gus Yahya pernah menduduki kursi kepresidenan di suatu pertemuan internasional. Hal itu hanya terjadi sewaktu beliau menjadi jubir.

Baca Juga Gerakan Literasi Digital untuk Menjaga Pergaulan Digital yang Positif

Di istana presiden, Kiai Abdurrahman Wahid tidak pernah memanggil Gus Yahya kecuali dengan menyebut “panjenengan”, sebuah frasa krama inggil yang lumrah dipakai untuk memanggil orang yang lebih tua. Kita tahu Gus Yahya jauh lebih mudah dari Gus Dur tapi Gus Dur melakukan itu.

Di bilik-bilik [pesantren] istana pula, Gus Yahya sering menjadi ‘teman ngobrol dini hari’, seperti yang dikisahkan AS Laksana dalam buku “Menghidupkan Gus Dur; Catatan Kenangan Yahya Cholil Staquf”,

“Di ruang kerja itu kami bisa menikmati waktu berdua. Hampir tiap hari ada waktu-waktu seperti itu. Kadang-kadang kami duduk berdua pada pukul tiga dini hari.”

Jagongan dini hari itu dilakukan selagi ruang kerja dan ruang tamu Istana tidak lagi ada orang atau satu tamu pun. Seperti Semar sedang menasehati pandawa lima, tapi hanya satu pandawa yang khusyuk mendengarkan dan mencernah pembicaraan itu tanpa suatu celetukan pertanyaan sama sekali.

Baca Juga PBNU-GERIS Punyai Kesamaan Pandangan tentang Perdamaian

Karena itu mungkin, Gus Yahya sering memperkenalkan dirinya sebagai seorang “Santri Kendil”. Kendil adalah sebuah bentuk kerajinan tangan dari gerabah yang mempunyai daya tampung air yang lebih dengan sedikit lubang untuk mengeluarkan jernihnya air yang ketika diminum meninggalkan sensasi rasa segar.  

Pengalaman seumur jagung itu seperti pula jasad Jose Arcadio dalam “One Thousand Years of Solitude”-nya Gabriel Garcia Marquez, meski sudah ditimbun dengan bebatuan dan semen, bau harum masih terasa kuat mengudarasa di negeri Macondo. 

Sekali lagi, menjadi Jubir Presiden adalah kisah klasik yang tak pernah menua bagi Gus Yahya karena Gus Dur hadir dengan kuat.

Sekalipun, menjadi jubir hanya dinikmati dalam waktu yang relatif pendek, setidaknya pengalaman itu menjadi bagian dari lembaran perjalanan hidupnya.

Yusuf Ali Syafruddin

Pegiat di Kajian Islam dan Kebangsaan

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button