Kurban Digital
PERADABAN.ID – Dalam sambutannya di gelaran Kick Off Literasi Digital kemarin, Gus Yahya secara lugas mengatakan bahwa otensititas informasi menjadi bekal fundamental dalam menyampaikan dan menyebarkan informasi di dunia digital.
Kendati ditujukan untuk aktivis dan warga Nahdlatul Ulama, hal itu tidak mengurangi perenungan sekaligus ajakan universal bagi kita semua, kaitannya dengan memanfaatkan digital dalam pergaulan masyarakat menjadi lebih positif.
Bukan tanpa alasan Ketua Umum PBNU itu mengatakan hal demikian. Jika merujuk pada data Asosiasi Penyelenggara Jasa Intenet Indonesia (APJII), penetrasi internet di Indonesia mencapai 77,02% pada tahun 2021 – 2022. Satu tren peningkatan yang mengingatkan, transisi perilaku kita dari lingkaran pergaulan konvensioal, menuju ruang digital.
Baca Juga Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru
Lebih spesifik, penetrasi internet tertinggi berada di kelompok usia 13 – 18 tahun, nyaris 96,16% terhubung ke internet. Disusul kelompok usia 19 -34 tahun mencapai 98,64%, sedangkan mereka yang berusia 35 – 54 tahun penetrasi internetnya mencapai 87,3%.
Melihat data di atas, patut diamini bahwa pergaulan kita saat ini memang didominasi oleh dan terjadi dalam ruang internet. Jika awal 2000-an televisi dan radio menjadi bagian dari keluarga yang tidak masuk lembar akta, maka bisa jadi, internet sudah menjadi saudara tiri di masa sekarang.
Di saat yang bersamaan, tanpa mengurangi dampak positif dari keterhubungan kita terhadap internet, terhadap digital, belakangan kian sesak dengan pedangkalan atas otensititas informasi itu. Hal ini setidaknya terekam dalam banyak ragam informasi yang nirfaktual, mengandung unsur kebencian, jauh dari harmoni dan fakta yang teruji.
Baca Juga Statement Selepas Shalat Jum’at
Segala aspek terjangkit kangker kronis ini, mulai dari ekonomi, sosial, politik, termasuk agama. Sekitar seminggu yang lalu, Gus Mus dengan berani mengajak para kiai untuk aktif di sosial media, bahkan menganjurkan pendidikan IT di Pesantren mulai digarap.
Gus Mus mengajak agar dakwah-dakwah dilakukan melampaui batas konvensional. Ia harus merangkak ke dalam ruang pergaulan baru yang mengkhawatirkan tetapi lumrah, yakni setiap orang dari bangun hingga kembali tidur; tangan, mata dan pikiran intim dengan informasi keagamaan yang cepat.
Parahnya, informasi keagamaan itu dominan keluar dari ketikan-ketikan pendakwah dadakan yang sanad ilmu keagamaannya kabur dan bias. Dakwahnya pun cenderung mengeliminasi spirit kasih sayang, keragaman dan akar budaya. Sehingga, pesan dakwah yang disampaikan sangat ekslusif dan parsial. Kejamnya, tak sedikit yang mempercayainya dan ikut menyebarkannya.
Islam dan Indonesia sebagai mandat keimanan dan kewargaan kita, untungnya mempunyai banyak cermin yang memantulkan perenungan-perenungan. Keduanya mempunyai banyak nilai yang bisa membenturkan kita untuk merefleksikan benar-tidaknya apa yang sudah diperbuat; kurban semisal.
Baca Juga Gerakan Literasi Digital untuk Menjaga Pergaulan Digital yang Positif
Secara spiritual, kurban membawa kita pada nilai-nilai keimanan. Secara sosial, ia membawa kita pada perilaku indahnya berbagi. Kurban menjadi manifestasi penghilangan sifat hewani kita, tidak hanya di hadapan Sang Pencipta, tapi juga bagi sekitar, yang berbeda maupun sama dengan kita.
Jika digital sudah menjadi ruang baru dominan dalam pergaulan kita, maka refleksi atas ritual kurban menjadi tepat. Menjadikan ruang digital sebagai manifestasi laku spiritual sekaligus sosial, dengan menghidari sifat-sifat hewani yang mendendap lengket di tubuh dan pikiran kita.
.
One Comment