Opini

Semangat Toleransi Kita (Sekali Lagi) Diuji MUI

PERADABAN.ID – Baru kemarin rasanya ramai di media sosial tentang statemen Bapak Cholil Nafis, Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) soal jamuan masyarakat dan Takmir Masjid di Temanggung kepada para Biksu Thudong yang dinilai kebablasan.

Kebablasan, satu kata yang sangat menakutkan bagi semangat toleransi yang sudah susah payah Pemerintah, stakeholder dan masyarakat Indonesia bangun selama ini. Apanya yang kebabblasan Bapak?

Namun setelah ramai netizen tidak terima, lalu menjawab dengan sandaran hukum yuridis Islam yang katanya ada Ulama yang membolehkan, bingung sendiri kan? Apa memang MUI hobinya seperti itu? Memantik hangat yang sebenarnya tidak perlu.

Kali ini yang terbaru adalah hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Majelis Ulama Indonesia (MUI), satu kegiatan yang diinisiasi oleh MUI, yang menjadi panduan –  ini panduan loh ya – isinya sebagai berikut: Penggabungan ajaran berbagai agama, termasuk pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama dengan alasan toleransi dan/atau moderasi beragama, bukanlah makna toleransi yang dibenarkan.

Baca juga:

Salam dimaksud adalah ucapan salam yang berasal dari agama-agama. Seperti salam sejahtera bagi kita semua (Kristen), Shalom (Katolik), Om Swastiastu (Hindu), Namo Buddhaya (Buddha) dan Salam Kebajikan (Konghucu). Setelah ucapan assalamuaalaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Menurut MUI Provinsi Jawa Timur, salam merupakan doa yang tidak terpisahkan dari ibadah yang merujuk kepada keyakinan agama masing-masing. Apakah ini baru? Tidak!

Sebelumnya MUI Provinsi Jatim mengeluarkan tausiah atau imbauan dan seruan dalam surat bernomor 110/MUI/JTM/2019 agar tidak melakukan salam lintas agama, karena dinilai syubhat yang dapat merusak kemurnian dari agama yang dianutnya.

Namanya hasil Ijtima`, maka akan berderet dalil-dalilnya. Namun sekali lagi yang harus digaris bawahi adalah, ini adalah sekadar panduan dan jika mengikuti bahasanya MUI Jatim adalah imbauan, apakah bersifat mengikat? Tidak sama sekali.

Dan hasil Ijtima` yang melakukan kajian, yang bersifat ilmi tentu akan ada khilaf apalagi ini persoalan Hablun Min An-naas yang sangat sosiologis. Salam lintas agama, jika pendekatannya teologis esoteris memang pelik.

Tetapi dengan pendekatan sosiologis, kita akan mudah menemukan jalan tengah. Dalam bersosial, terkadang harus ada mujaamalah (basa-basi) antara komponen masyarakat yang majemuk.

Selain saling mendoa dan menebar damai, salam lintas agama yang diucap pejabat hanyalah sebuah tegur sapa dan bentuk penghormatan kepada semua pemeluk agama sebagai sesama warga bangsa yang telah berkoitmen untuk hidup rukun bersama.

Tidak sampai pada masalah keyakinan. Terlalu jauh bila dimaknai sebagai pengakuan dan permohonan doa kepada tuhan selain Allah yang menyalahi akidah.

Akan sangat panjang pembahasan, beradu dalil, dan kemudian mendapatkan apa? Masalahnya sekali lagi, hal ini tidak menyangkut akidah, ini sama seperti masalah mengucapkan selamat Natal dari seorang muslim, bagaimana hukumnya? Banyak yang melarang,

Namun tak main-main juga kaliber ulama yang membolehkannya, seperti Yusuf al-Qaradhawi, Nasr Farid Washil dan Ali Jum’ah, keduanya mantan Mufti Mesir, membolehkan ucapan selamat natal sebagai bentuk mujaamalah dan bagian dari ‘berlaku baik dan adil’ yang tidak terlarang dalam QS. Al-Mumtahanah: 8.

Baca juga:

Akhiran, soal hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu hanya imbauan saja. Jika kemudian banyak yang menyayangkan atas Imbauan ini, kenapa harus dipermasalahkan? Apa tidak ada hal yang lebih urgent untuk dibahas tinimbang membahas soal beginian yang malah memperkeruh udara segar toleransi Bangsa ini.

Maka kembali lagi, ini sifatnya hanya Imbauan, jika kemudian ada pejabat yang pidato mengucapkan salam tersebut goyah keimanannya ya ndak usah pakai. Jika memaknai salam tersebut sebagai bentuk saling mendoa dan menebar damai, salam lintas agama yang diucap pejabat hanyalah sebuah tegur sapa dan bentuk penghormatan kepada semua pemeluk agama sebagai sesama warga bangsa yang telah berkoitmen untuk hidup rukun bersama, ya lanjutkan saja.

Yang terpenting adalah, bahwa teduh rukun dalam ragam iman di Indoensia ini adalah anugerah dari Tuhan yang tak ternilai harganya. Kita mati-matian untuk merawatnya, sebagai pondasi kokoh dari bagaimana sebuah bangsa bisa tetap aman tenteram dalam kemajemukan.

Kita tidak ingin seperti banyak bangsa di Timur Tengah sana yang hari ini masih belum bisa bangkit dari kehancuran akibat semangat keagamaan yang ekslusif, kaku dan tekstual yang kemudian melahirkan ekstrimisme beragama yang justru menghancurkan sebuah bangsa.

Oleh : Afif Fuad Saidi, Ansor Bumi Sholawat Nariyah

*Tulisan dilansir dari laman facebook Jonathan Latumahina

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button