Opini

Saya Mohon Ampun …

PERADABAN.ID – Tak berselang lama setelah perayaan Satu Abad NU usai, Gus Yahya memajang ‘pamflet’ berisikan permohonan maaf dan terima kasih. Dan entah mengapa, penulis agak tersentak membaca diksi awal yang digunakan; Saya mohon ampun…

Bayangan penulis, sebenarnya cukup menggunakan bahasa “formal” yang kerap digunakan penanggung jawab kepanitiaan seperti banyak dilakukan, maaf semisal. Dan kenapa harus “ampun”?

Saya mohon ampun kepada Yang Mulia Rais ‘Aam dan para kiai atas kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaan keseluruhan rangkaian kegiatan peringatan Satu Abad Nahdlatul Ulama.

Bisa jadi karena permohonan itu ditujukan kepada Rais Aam dan para kiai, diksi yang digunakan adalah ampun.

Sebab dalam perjalanan pelaksanaan satu abad NU, terdapat kekurangan, yang menurut penulis sudah banyak yang mengetahui. Tetapi, bukankah nada maaf, atau “saya mohon ampun”, jamak kita dengar tertutur dari Gus Yahya.

Jelang pelaksanaan semisal, Gus Yahya meminta maaf kepada warga Sidoarjo dan sekitarnya, lantaran konsekuensi dari helatan akbar ini bisa mengganggu aktivitas warga.

Hanya diksi itu, pikiran penulis menjadi tak karuan. Makna yang ingin disampaikan Gus Yahya tampaknya bukan sebatas permohonan maaf belaka. Melampaui makna harfiah sebagaimana tersebar dalam sosial media.

Mungkin saja, jika ini tidak berlebihan dan boleh dikoreksi, adalah adab. Atau keharusan-keharusan rasional, kata Gus Dur, untuk dilaksanakan ataupun dijauhi, jika kita ingin dianggap sebagai “muslim yang baik”.

Kesantrian, dalam arti pelaksanaan ajaran Islam oleh seseorang, tidak menentukan “kebaikan” seperti itu, lanjut Gus Dur dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita.

Banyak santri tidak memperoleh predikat “muslim yang baik” karena ia tidak pernah memikirkan masa depan Islam. Sedangkan santri yang kurang sempurna dalam menjalankan ajaran agama sering dianggap sebagai “muslim yang baik”, hanya karena ia menyatakan pikiran-pikiran tentang masa depan Islam.

Dan Gus Yahya, tampaknya membiarkan dirinya ditafsir sedemikian rupa oleh Anda, yang mencacinya dengan keyakinannya, atau hal lainnya, yang menyanjungnya.

Dalam arti lain, Gus Yahya seperti berangkat dari pengakuan terhadap ketidaksempurnaan dirinya, NU-ku, dan seluruh perangkat kepanitiaan yang dimiliknya saat menjalankan tugas monumental Satu Abad NU. Kendati pikiran dan lakunya diperas habis untuk menyiapkan perayaan itu sebagai momentum NU melangkah ke abad selanjutnya.

Dan demikianlah selanjutnya, permohonan ampun menjadi gestur adab kesantrian yang ditujukan kepada NU Anda, dengan segala harapan dan keyakinannya. Untuk menuju NU kita, di abad kedua. “Oh universe, welcome to the second century of the Nahdlatul Ulama kata Gus Yahya.

Semoga setiap ingsut kaki, setiap gerak tangan, setiap tetes keringat, setiap getar suara, setiap kelebat gagasan, setiap buncah bahagia dan harapan, dikembalikan kepada kita sebagai barokah khidmah.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button