Opini

Resepsi Puncak 1 Abad Nahdlatul Ulama, Ambang Menuju Peradaban

PERADABAN.ID – Seperti Sindhunata dalam Final Argentina versus Perancis, Jangan Terempas karena Cinta, laga final Piala Dunia 2022 bagi Argentina merupakan suatu ambang.

“Bagi mereka, final seperti suatu ambang, di mana mereka boleh menikmati surga kebahagiaannya, atau terempas kembali pada dunia kenistaan. Seakan tak berartilah segala prestasi jika di final mereka kalah. Cinta memang kejam bila ia gagal,” tulisnya.

Sejak tulisan ini disusun menjadi paragraf, tidak terbesit nasib Argentina; surga kebahagiaan atau dunia kenistaan. Tetapi keotentikan darinya adalah kecintaan yang didapatkan mereka dari masyarakat Argentina terhadap bola, kepada timnya yang harus mengakui keunggulan Saudi Arabia.

Cinta bagi siapa pun memang tak melulu berdasar pada logika. Cinta mengeruk emosi sedalam-dalamnya. Menjelma menjadi kekuatan yang kokoh, perjuangan yang gigih, dan cita yang kekal.

Begitulah setidaknya, jika ilustrasi ini ‘dipaksa’ kita tarik dalam konteks keharibaan Nahdlatul Ulama (NU). Para pendiri, sudah pasti berangkat dari kecintaan terhadap nilai-nilai Islam yang toleran, adil, seimbang dan moderat, untuk melanggengkan nafas kemanusiaan yang setara bagi bangsa dan dunia.

Baca juga:

Berdirinya Nahdlatul Wathon, sebagai situs sekaligus embrio lahirnya NU menjadi imajinasi kolektif bagaimana kecintaan itu sudah mengakar kuat. Kiai Wahab menjadi – meminjam bahasanya Martin van Bruinessen – pengorganisir yang bersemangat dalam bangunan arsitek NU.

Rasa-rasanya tidak cukup bagi Kiai Wahab dan para pendiri, hidup dan menghidupi para santrinya di lingkungan pondok pesantren mereka. Mereka harus menginisiasi ‘kebangkitan ulama’ dalam wujud perkumpulan, menyeru jihad di tengah teluk penjajahan, atau memegang teguh lentera kebinekaan.

Kecintaan itu terkonversi menjadi mentalitas. Dalam perjalanannya, para penerus meyakini hal itu sebagai sebuah titah. Titah mencintai agama, bangsa dan kemanusiaan. Dari prinsip ini, NU bertahan dan terus berupaya memberikan yang mulia untuk kemanusiaan, hingga di usianya yang menjelang 1 abad.

“Sebab menurut Gus Yahya, tidak ada cara yang lebih baik untuk menolong nasib Islam selain dengan cara menolong kemanusiaan seluruhnya”

Jika diizinkan, tepatlah bahwa NU saat ini berada di titik ambang. Resepsi Puncak 1 Abad Nahdlatul Ulama bukan sebatas hitung-hitungan hari, minggu, bulan dan tahun belaka. Ia adalah titik antara, bagi NU dalam mimbar peradaban dunia masa depan.

Menengok buku Menghidupkan Gus Dur, sel-sel peradaban dirangkum. Bagi penulis, buku itu tidak hanya mengenang Gus Dur, akan tetapi irisan visi Gus Dur yang menempel erat dengan NU dan kemanusiaan.

Dan lebih dari itu, Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama melengkapi serta menjelaskan dengan terang, bagaimana NU ke depan. Isinya bukan sekadar rekonstruksi akar geneologis berdirinya NU, tetapi tawaran gagasan koheren tentang aktualisasi keberadaan NU di tengah realitas yang tidak pernah disangka-sangka sebelumnya.

Gus Yahya menawarkan, tentu saja tidak lepas dari pengaruh dan pengalamannya dengan para pendahulunya, bahwa NU musti berubah tolal dalam mentalitas dan pola pikir. Mentalitas dan pola pikir ini harus mewarnai konstruksi keorganisasian NU.

Baca juga:

Fikih Peradaban yang digelar di ratusan titik, menggema dalam nuansa diskursus yang konstruktif melakukan kontekstualisasi hukum Islam (fikih) kaitannya dengan kehidupan bernegara, menyisir kejumudan-kejumudan yang masih digunakan oleh sebagian kepentingan kelompok.

NU Tech dan semacamnya, melangkah adaptif di tengah gegap gempita gempuran teknologi dengan titian inovasi dan baru.

Dan R20, ibarat langgam NU dalam irama percaturan global. Ia mampu menghadirkan agama dalam tabuan konflik global, baik sebagai solusi atau perbaikan-perbaikan atas keberadaan agama itu sendiri.

R20 mengorkestrasi aktor-aktor global untuk menilik kembali agama sebagai kekuatan nilai universal kemanusiaan yang selama ini terselip dalam lipatan modernitas.  

Sebab menurut Gus Yahya, tidak ada cara yang lebih baik untuk menolong nasib Islam selain dengan cara menolong kemanusiaan seluruhnya. Dan jelang 1 abad, lalu mungkin ke abad-abad berikutnya, narasi NU adalah menolong kemanusiaan seluruhnya; menjadi watak sekaligus kekal dalam peradaban masa depan.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button