Opini

NU dalam Pusaran Situs Global

PERADABAN.ID – Kalau ada bayangan tentang ruang publik, mungkin kafe adalah salah satu situsnya yang paling penting.

Kafe menjadi ruang hangat yang, menaikkan gairah pengunjungnya untuk melepas penat, bersua teman, bertukar pikiran, menikmati senja dan tentu saja berdiskusi.

Sebagai situs ruang publik, kafe juga wakil dari kemajemukan. Coba kita amati, bagaimana setiap hari hilir-mudik manusia silih berganti menampakkan kehadirannya sebagai bagian dari warga masyarakat yang berbudi pekerti luhur. Minimal kafe adalah ruang untuk absen wajah, biar tidak dikira sudah meninggal.  

Peristiwa-peristiwa yang terjadi di pelosok maupun pusat kota, entah itu bersifat pribadi maupun publik, dipercakapkan secara halus maupun terbuka di kafe, untuk kemudian tersebar secara luas, menjejal kanal-kanal.

Keputusan fatwa agama dan politik pemerintah ditanggapi secara populer di dan melalui kafe.

Sudah jadi legenda, bagaimana kafe-kafe di Paris menjadi tempat mengobrol sekaligus berdiskusi para seniman, pemikir, dan aktivis. Pemikir eksistensialis Jean Paul Sarte dan Simone de Beauvoir nongkrongnya di kafe Les Deux Magots, novelis Ernest Hemingway yang sempat juga mukim di Paris ngopinya di kafe Danton.

Konon, gagasan eksistensialisme juga tercetus dari ruang bawah kafe Saint Michel, Paris.

Baca Juga Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru

Sahih, fungsi kafe kemudian bukan sekedar tempat minum kopi, bersantai, bersua teman dan mengobrol, tapi fungsinya akan nampak setelah orang keluar dari kafe dan mendapati pikirannya segar disertai komuk yang suka-ria.

Sebab itu, kafe adalah ruang yang menghargai otentisitas dimana karya seni baru, gagasan inovatif, kemajemukan dan ide-ide transformatif dicetuskan.  

Koridor

Dalam novel Lorong Midaq karya Najib Mahfuz, kafe “Kirsya” tidak hanya menjadi penghias cerita melainkan dari sanalah narasi utama bermula. Kafe menjadi “penghubung” antara dunia kecil dan terpencil di Lorong Midaq dengan dunia luar yang bergerak sangat cepat.

Sifat kafe sebagai situs global dari ruang publik sekilas dekat dengan karakteristik Nahdlatul Ulama sebagai ruang ekspresi dan penyambung lidah antara program negara (lintas sektoral) dengan jama’ah yang berada di jantung peredaran Nahdlatul Ulama, yaitu pesantren dan masyarakat di seluruh Indonesia. “Ini adalah ikhtiar yang lebih besar dari diri sendiri karena itu kita tidak boleh hanya memikirkan diri sendiri!”, kata Gus Yahya.

Ikhtiar ini kian penting, ketika kita mampu mempertimbangkan bahwa pluralisme merupakan satu fondasi kunci yang menopang realitas dunia, dan ini seharusnya mengingatkan kita agar rendah hati dalam menyampaikan kritik tentang masa lalu dan membayangkan kemungkinan masa depan Nahdlatul Ulama. Akan sangat jauh tertinggal dan sangat terpojok, kalau semisal situs global ini tidak berfungsi, sebagaimana koridor yang selalu terbuka dan fasih dalam mengimbangi laju zaman yang sudah akil baligh ini.

Laju zaman yang, praktis merangsang perubahan, membawa nuansa antagonis dari hal-ihwal yang tidak relevan. Kepingan zaman selalu menjadi kail persebaran manfaat adalah nilai yang harus digarap secara serius dan sungguh-sungguh.

Baca Juga Gus Yahya; Manzilah Harus Dilaksanakan dengan Ikhlas

Nahdlatul Ulama—sebagai gerakan publik sekaligus wakil dari kemajemukan—tidak pernah terkotak-kotak seperti yang ramai didedah dengan nada politis, yakni kultural dan struktural.

Jantung dari Nahdlatul Ulama itu ya jama’ah. Sedang jama’ah ya Nahdlatul Ulama itu sendiri.

Analogi ini berdasar pada basis Nahdlatul Ulama yang ditulang-punggungi oleh kemajemukan. Perubahan di wilayah demografi membuat persebaran jama’ah selalu berlipat ganda, baik di dalam negeri maupun luar negeri. 

Di sisi lain, Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyah, memiliki tanggung jawab utama dalam melayani dan mengayomi jama’ah. Tujuannya jelas, kemaslahatan.

Satu hal lain yang ditawarkan Nahdlatul Ulama sebagai situs global adalah kehangatan, demokratis, keintiman dan kebebasan. Selain, tentu saja kedekatan yang sifatnya kelakar “NU: ngopi dan udud”. Hehe.

Yusuf Ali Syafruddin

Pegiat di Kajian Islam dan Kebangsaan

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button