Opini

Tahunnya Nahdlatul Ulama

PERADABAN.ID – Dalam beberapa kesempatan, masa ini dibilang tahunnya Nahdlatul Ulama (NU). Entah dari mana kesimpulan – atau mungkin hanya harapan – itu berasal, yang jelas narasi tahunnya NU berkeliaran di depan, belakang dan samping kanan-kiri kita.

Jika dibilang demikian, biasanya juga ada kekhawatiran yang besar mendampingi. Bisa jadi tahun ini menjadi tahun kemunduran, atau bahkan menjadi ajal bagi NU. Alih-alih membuka kesempatan untuk menempatkan NU dalam puncak keemasan; dua abad usia NU.

NU masuk abad kedua, menurut Gus Yahya. Ada hadis yang mengatakan bahwa Allah dalam setiap abad akan membangkitkan pembaharu. Di sisi yang lain, Alquran mengatakan: Umat itu punya waktu ajal, kalau sudah sampai ajalnya, tidak bisa ditunda, tidak bisa dipercepat.

Baca Juga Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru

Puncak keemasan NU itu mungkin karena kalkulasi di atas, yakni masuknya NU ke abad yang baru. Secara periodik hal ini dapat dibenarkan. Ia seperti kalkulator yang menghitung deretan capaian, peran, dan keikutsertaan NU dalam percaturan sosial, agama, politik dan seterusnya. Deretan ini kemudian ditopang oleh sumber daya , kaum cendikiawan, ulama dan lainnya yang menjadi aset NU.

Ibaratnya, NU hanya tinggal menunggu hasil dari lendir keringat yang sudah dikeluarkan selama ini. Tapi tidak demikian dunia bekerja, peradaban baru, tidak dilahirkan oleh yang diam di tempat, pongah dan merasa berhak. Maka, muncullah pembacaan sekaligus usul pikiran agar deretan capaian dan sumber daya yang dipunyai NU dimaksimalkan lebih jauh; aktualisasi, positioning dan keterbukaan ruang berpikir!

Gus Yahya mengatakan begini: sebetulnya momentum saat ini memberikan harapan kepada NU untuk menemukan perannya di tengah-tengah kemelut dunia. Tidak hanya menyangkut dunia Islam. Aktor-aktor strategis global tidak punya jalan keluar dan NU punya. Jika NU mau mengaktualisasikan visi tentang jalan keluar itu, itulah yang namanya pembaruan.

Baca Juga Pendekar Chicago dan Warisan Kepulangannya

Jauh sebelum itu, Gus Dur tetiba duduk bersama dengan Dawam Rahardjo, dan bersama Adi Sasono dan Sritua Arif, pemikir ekonomi kiri waktu itu. Kendati Gus Dur pernah menghatamkan Das Kapital semasa SMPnya, pandangan ekonomi Gus Dur tidak sama persis dengan narasi Marxian seutuhnya, atau membuka lebar silang kepentingan kelas ekonomi.

Gus Dur berbeda, dia justeru menawarkan alternatif dengan membuat format supaya yang besar dan yang kecil bertemu dan bekerja sama, sehingga keduanya sama menikmati keuntungan. Lalu keluarlah eksperien Bank Nusumma. Eksperimen menghadirkan Bank di dalam tubuh NU juga bisa dibilang baru waktu itu, pemahaman mengenai Bank masih sangat minim, bahkan juga ada penolakan-penolakan dari tokoh NU.

Alhasil, eksperimen itu gagal di tengah jalan. Namanya Gus Dur dan segala inisiatifnya, akan melulu menemukan titik kontekstualnya, mungkin 2 tahun atau bahkan ratusan tahun ke depan, sejak awal ide itu ditelurkan. Terbukti pada tahun selanjutnya, konsepsi Bank Nusumma yang digagas Gus Dur dipraktikkan dalam BMT-BMT yang sekarang ada.

Baca Juga 4 Perubahan dalam Peradaban Manusia

Jika Gus Yahya berbicara tentang aktualisasi, peran-peran dan peluang yang harus diambil dengan sekuntum modal yang dimiliki, Gus Dur lebih kepada positioning sekaligus keterbukaan ruang berfikir. Ketiganya sebenarnya saling terikat satu sama lainnya, satu tarikan nafas panjang. Gus Yahya sendiri kerap mempraktekkan tiga hal di atas.

Saat ini semisal, NU sudah mengintegrasikan dirinya dalam dunia Global. Bukan sekadar kehadiran fisik, tetapi juga pergulatan pemikiran sebagai jalan solutif untuk permasalahan-permasalahan dunia, permasalahan-permasalahan kemanusiaan. Tinggal bagaimana ke depan, hal itu diperankan?

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button