Opini

Menghakimi Kelakar, Apa yang Salah?

PERADABAN.ID – Istilah sumbu pendek, barangkali tidak asing di mata dan telinga pembaca. Istilah ini, setidaknya menjadi redaksi umum mendefinisikan reaksi berlebihan, gampang marah, menuduh, bahkan menghakimi terhadap suatu peristiwa. Utamanya, peristiwa politik.

Kelompok – izinkan saya menyebutnya demikian – sumbu pendek ini biasanya terafiliasi dengan dukungan dan kepentingan politik, dengan membawa agama untuk melegitimasinya. Dari persoalan yang hidup, hingga yang sudah mati sekalipun.

Karena tidak memilih ini, masjidnya dibatasi untuk mensholati jenazah pemilih itu. Atau hal lainnya. Yang karib, terdaftar dalam laman digital politik Indonesia.

Kelompok ini kumulatif. Mulanya pilihan politik, lalu menggunakan dalil agama. Ujungnya, penggunaan politik identitas untuk meraup suara, dengan cara menakut-nakuti.

Ruangnya adalah sosial media dan platform digital lainnya. Mereka dijadikan ruang publik untuk mendaur kebiasaan buruk seolah-olah, atas perintah agama. Tujuannya menyingkirkan lawan politik. Ujung-ujungnya dengan menggunakan agama juga.

Objeknya tak pilih-pilih, yang penting beda. Asal beda, beda pilihan politik, itulah objeknya. Diburu, dicari celah keseleo nada, gestur bicaranya hingga lakunya.

Menariknya, gejala sumbu pendek sepertinya terulang. Terulang dengan lipstik yang berbeda. Belakangan, saat kelakar Menteri Agama Gus Yaqut di Surabaya kemarin.

Baca juga: Politik Religiositas: Praktik Mempercantik Diri Jelang Pemilu

Kelakar itu riuh, mendapat tanggapan. Entah apa yang salah dari kelakar. Tapi sebagaimana di awal, begitulah pemelintiran (truth spin) bekerja. Dan sepertinya yang memberi tanggapan itu nyaris mirip sama narasi dan polanya dengan yang tahun-tahun sebelumnya. Jika sebelumnya adalah agama, hari ini soal kelakar.

Ini kelakar. Yang biasanya, menjadi imun agar lebih tenang dan santai. Justeru, dipelintir sedemikian rupa. Lebih-lebih mendapat tanggapan dan penghakiman yang begitu emosional.

Tapi peristiwa ini hanya perlu dimaklumi belaka, sebab begitulah dalam politik. Senggol bacok, sumbu pendek. Dan kita, yang umat selow, hanya perlu mendudukkannya di ruang komedi.

Saya teringat ada satu kalimat yang jamak kita dengar, bahwa komedi itu adalah tragedi itu sendiri. Ini kebablasan, dan membalikkan dengan runcing sekali. Komedi di tragedikan, candaan dipelintir menjadi tragedi. Digiring menjadi sesuatu yang serius. Begitulah kerja-kerja pemelintiran, untuk mengocok emosi publik.

Jadi ingat almarhum Gus Dur, dengan adagiumnya yang tenar: orang yang masih terganggu dengan hinaan dan pujian manusia, dia masih hamba yang amatir. Eh ini belum sampai ke hinaan, apalagi pujian, hanya sekadar kelakar, udah terganggu. Nyaris, lebih amatir.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button