Opini

Meluruskan Dikotomi NU Stuktural dan NU Kultural

PERADABAN.ID – Tulisan ini dibuat dalam perjalanan dari Malaysia menuju Madinah. Perjalan spiritual dari tanah air menuju tanah suci lewat Kuala Lumpur, bermalam di negara Jiran sambil menikmati tradisi Melayu.

Sungguh satu malam di peraduan si Upin-Ipin terasa singkat tapi penuh dengan kegelisahan. Bukan karena meninggalkan banyak cinta di tanah air, tapi ada kata-kata yang sengaja dibuat oleh orang atau sekelompok orang tentang NU dengan membuat diksi dikotomi NU kultural dan NU struktural.

Jika sekedar kata-kata tentang NU struktural dan NU kultural sepertinya rapopo, toh kata-kata itu biasa diucapkan oleh siapapun termasuk aku, sering juga mengucapkan kata-kata itu.

Tapi beda dengan diksi yang dibuat dan direpost oleh elit partai, patut diduga ada pretensi negatif dan ada udang di balik batu dengan membuat kata seolah-olah  “Warga NU Kultural wajib memilih partai yang dikuasainya sementara Para Pengurus NU di semua tingkatan dari pusat sampai anak ranting yang sekarang duduk di struktur dibahasakan “Sakarepmu”. Kira-kira diksi ini yang sekarang membuat terusik dan gelisah kaum nahdliyin.

Wajar kaum nahdliyin terusik dan gelisah dengan diksi dikotomis nan politis ini. Bagaimana tidak gelisah, puluhan juta kader NU baik yang aktif di struktural plus juga sebagai kader NU kultural harus di-split dengan tujuan-tujuan terselubung, menggiring pada satu frekuensi politik tertentu dengan tensi politik hegemonik yang cenderung merusak relasi Jam’iyah dan Jama’ah NU.

Ada tiga alasan kenapa kader NU terusik dengan diksi tersebut, pertama, diksi tentang NU kultural dan struktural sengaja dibuat oleh mereka yang sangat lekat dengan politik partai. Mereka selama ini dipandang mengeksploitasi basis struktural dan kultural NU menjadi kemenangan elektoral politik partai belaka.

Baca Juga Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru

Tapi mereka yang selama ini mengeksploitasi basis struktural dan kultural NU sangat minim kontribusinya ketika berkuasa. Sangat terlihat “kebakhilan politik ideologi” untuk membantu perjuangan NU dalam melawan musuh ideologisnya di medan tempur, baik di dunia maya maupun di dunia nyata, malah mereka cenderung cari aman hanya sekedar menjaga citra partai.

Mungkin hari ini mereka kerepotan untuk mengeksploitasi basis struktural. Karena sadar bahwa NU hari ini, tidak konsen dan tidak bisa dicocok hidungnya dengan politik praktis, iming-iming sejarah dan masa depan, karena selama ini apa yang dilakukan mereka terkesan lips service dan kamuflase.

Lagian hari ini, NU sangat menghindari politik praktis kekuasaan tapi lebih fokus pada politik kebangsaan dan peradaban dunia.

Kedua, diksi dikotomis NU kultural dan NU struktural dipandang dapat memecah belah soliditas dan kemajuan NU yang selama ini terus mengalami perkembangan signifikan, baik NU struktural (Jam’iyah) maupun NU kultural (Jama’ah) semuanya solid merawat tradisi, amaliah dan politik kebangsaan yang telah diwariskan para muasis Nahdlatul Ulama.

Soal politik praktis kepartaian, NU tidak melarang untuk memilih jalan politiknya masing-masing meski dengan partai mereka memiliki hubungan historis. Tapi warga NU telah sangat dewasa untuk mengalkulasi saluran partai mana yang mampu memberikan jalan politik bagi warga NU di masing-masing tingkatan. Pun sebaliknya NU juga tidak melarang kadernya bergumul secara politik di partai itu.

Baca Juga NU Apa Adanya, NU Sak Lawase, Tidak Ada NU “Sak Karepmu”

Ketiga, mereka para kreator diksi dan kata-kata dikotomi itu terlihat ada kepanikan, ada ketakutan yang disembunyikan dengan kesombongan. Sehingga mereduksi etika dan adab komunikasi layaknya watak kader NU yang selalu menghargai siapa pun, baik yang aktif di struktural maupun warga NU kultural, termasuk juga menghormati yang berbeda keyakinan.

Jangan karena kepanikan politik malah terlihat kaya “orang mabok” dengan menabrak sana-sini dan publik nahdliyin malah semakin tidak simpatik karena diksinya membuat ukhuwah tercidrai. Tapi memang betul juga biasanya orang panik dan ketakutan selalu mencari alasan agar bisa menenangkan dirinya yang sedang dilanda panik dan ketakutan itu.

Terlihat ketika memilih bahasa yang tidak etis yang disematkan pada para pengurus NU Struktural “Sakarepmu” adalah bahasa kepanikan dibungkus arogansi. Padahal semua tahu yang selama ini tulus ikhlas berjibaku berjuang merawat nilai-nilai kultural NU dalam mewujudkan peradaban manusia yang toleran dan moderat adalah para pengurus NU bersama jama’ah NU.

Para pengurus hari ini, sama sekali tidak tendensius terhadap politik kekuasaan melampaui khidmahnya serta lebih dominan niat tabarukan pada NU. Karena NU bukan sekedar organisasi duniawi tapi jalan menuju ukhrowi  yang didirikan oleh waliyullah-waliyullah.

Maka jika mereka menggunakan bahasa “Sakarepmu” sangatlah tidak indah. Apa lagi hanya sekedar mempertahankan secuil kuasa yang sangat profan dan nisbi. Sampai-sampai harus menghina, melemahkan bahkan meniadakan peran kesejarahan NU dan peradaban dengan parameter tunduk pada partainya.

NU hari ini hanya sedang menetralisir anasir, koptasi dan eksploitasi politik partai pada struktur NU dan warganya untuk  kembali pada khittoh yang, selama ini terseret jauh kedalam rumah tangga mereka atau mereka terlalu masuk kedalam rumah tanggal NU.

Baca Juga Keluarga Global

Sudah seharusnya mereka sadar betul bahwa NU harus tetap menjadi ibu yang baik telah melahirkan anak politik yaitu mereka yang sekarang berkuasa secara politik. Mestinya mereka berbakti bukan mencaci dengan diksi itu atau mereka sedang pelan-pelan merasakan durhaka politik melawan Ibunya sendiri yang telah melahirkan dan membesarkannya.

Manunggaling NU

NU struktural dan NU kultural adalah manunggal tidak bisa dipisahkan dalam konteks kekuatan masyarakat sipil, sebagai entitas bangsa dan keagamaan. Hanya saja soal penyebutan NU struktural dan NU kultural bagi NU adalah soal regenerasi dan restrukturisasi saja ketika warga NU kultural menjadi NU struktural saat diberikan kepercayaan duduk untuk mengerahkan organisasi sebagai wadah dari cita-cita besar warga NU secara menyeluruh di semua tingkatan seluruh dunia.

Begitu pun sebaliknya bahwa NU struktural bisa menjadi NU kultural jika sudah tidak lagi berkhidmat dalam struktur organisasi dari pusat sampai daerah. Soal mazhab, manhaj, harakah semuanya adalah satu “Manunggaling NU” dalam satu tarikan nafas, roh dan raganya. Jika pun ada perbedaan itu soal cara pandang fiqhiyah yang tidak berpengaruh pada kesatuan pandangan ber-NU, baik dalam soal keagamaan maupun soal politik kebangsaan serta peradaban dunia.

Jadi kalau ada elit partai mencoba membenturkan dan membelah NU dengan diksi itu bisa dipastikan mereka sedang kesurupan memaknai yang selama ini mereka tahu betul bagaimana sejatinya NU. Mereka lupa bahwa NU ini ‘manunggaling’ semakin dibelah dengan diksi dan narasi dikotomis yang bertujuan memecah-belah NU, maka NU akan semakin kuat untuk mengkonsolidasi jam’iyah dan jamaah NU dan akan semakin jauh dari harapan mereka.

Baca Juga Harum Tangan Kyai Maimoen

Mereka, akhir-akhir ini terlihat nyolot banget hampir tiap moment, yang menjadi sasaran tembak adalah simbol kekuatan ideologis NU. Meraka terlihat tidak sadar sedang melakukan kesalahan besar dalam sejarah politik kebangsaan NU. Mereka sudah di luar batas rasional meletakkan relasi NU dan partai malah terlihat merasa superior dan supreme di hadapan pendirinya.

Betapun adanya NU struktural semenjak Hadratus Syekh KH Hasyim As’ary bersama KH Hasan Gipo adalah ulama pendiri sekaligus menempati struktur NU yang mengisi sejarah baik keagamaan, kebangsaan dan kenegaraan, bahkan ikut serta dalam peradaban dunia. Tak hanya itu, beliau juga ikut terlibat dalam politik kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan sampai ikut mempertahankan dengan Resolusi Jihad.

Ini salah satu potret sejarah keterlibatan NU struktural yang akan diabaikan begitu saja oleh kelompok yang sedang panik atau karena ambisinya untuk sekedar ingin berkuasa di negeri +62 ini. Banyak cara santun dan indah untuk mencari dukungan, bukan dengan cara-cara memecah NU dari dalam.

Tapi, boleh jadi ini adalah puncak dari eksploitasi basis kultural dan struktural yang selama ini di lakukan mereka sehingga sudah waktunya partai yang mereka kuasai—hasil dibentuk oleh NU, dikembalikan lagi pada Ibu kandunganya untuk dimomong ulang agar bisa membangun relasi indah saling menginspirasi tanpa intervensi, simbiotik tanpa memetik keuntungan sepihak.

Mungkin waktunya sudah dekat NU struktural dan NU kultural bergerak penuh bijak untuk kembali menjadikan mereka yang sekarang berada di struktur partai menjadi pengikut partai di ranah kultural saja, artinya mungkin sudah lelah dan berharap pensiun dari politik struktural dan menjadi partai kultural.

Wallahu’alam

Oleh: Ahmad Nuri

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button