Opini

Melampaui Stigma

PERADABAN.ID – Ahli agama, penjaga toleransi, penghadang radikalisme dan sejenisnya melekat di batang tubuh NU. Tidak hanya melekat, ia menjelma stigma. Stigma yang mendefinisikan tentang konstruksi nilai dan laku NU. Dan sebenarnya, membatasi ketidakterbatasan NU di luar kepedulian keagamaan.

Identitas itu, memang tidak bisa lepas dari sejarah. Singkatnya, sejarah membentuk identitas. Identitas NU sebagai organisasi yang mempunyai kepedulian keagamaan tidak lepas dari sejarah panjang yang menggambarkan bagaimana agama mempengaruhi sekaligus bagaimana mewacanakan agama ke masyarakat.

Keduanya berkelindan, dan memang tidak bisa ditolak. Roda putar NU memang kental dengan kontruksi pengetahuan agama.

Persoalannya, konstruksi keagamaan itu terkadang membuat tidur panjang penggerak NU. Terlalu nyaman dengan kemapanan nilai. Padahal, nilai agama sangat luas apabila disandingkan dengan realitas dan perubahannya.

Baca Juga Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru

Segala sesuatu sebelum kubur, tulis Gus Yahya, adalah kepentingan. Tak terkecuali NU. Maka pengertian hadapan (mahfum mukholafah) dari pernyataan di atas adalah bahwa, jika ada organ NU yang tidak bergerak, berarti ia berkepentingan untuk tidak bergerak atau tidak memahami kepentingannya.

Narasi ini hanya untuk menggambarkan perspektif Gus Yahya pada beberapa orang yang kerap bertanya kepada Gus Dur tentang kegemaran beliau akan ziarah kubur. Jawaban Gus Dur, “karena ahli kubur tak lagi punya kepentingan”.

Itu sebabnya mereka, ahli kubur, tidak lagi berbuat apa-apa, tidak bergerak, tidak berikhtiar dan tidak berorganisasi.

Seperti biasa, pada guyonan-guyonan Gus Dur, termasuk hal di atas, penulis hanya mengartikan harfiah. Atau kalaupun lebih, sebagai dorongan untuk tetap ziarah, sebagai ritual yang melekat pada identitas NU. Pengertian ini hanya mengantarkan penulis pada dua hal; menikmati guyon dan tertawa ala NU, sedangkan pada titik lain, menebalkan identitas ke-NU-an penulis.

Menurut kacamata Gus Yahya berbeda. Identitas ke-NU-an tentang ziarah itu, direkontekstualisasikan ke hal yang menurut penulis, lebih luas. Dari ziarah itu, ia mampu mendorong sekaligus memotivasi agar organ NU mempunyai kepentingan. Mempunyai ghirah untuk bermanfaat lebih jauh lagi, dengan perangkat tradisionalis, dengan perangkat yang nilainya sudah terinternalisasi.

Dalam rumpun keilmuan Sosiologi, ada teori terkenal yang menjelaskan bagaimana interkasi sosial atau hubungan sosial di dorong oleh pertukaran sosial (exchange theory). Hubungan sosial hanya akan terjadi manakala kedua belah pihak bertemu dan sepakat di atas dua kepentingan yang berbeda, dan keduanya saling membutuhkan. Ada kebutuhan dan imbalan.

Baca Juga Pisau Cukur Gus Yahya

Sebenarnya tidak keliru, dalam hal apapun, terutama yang menyangkut kompetisi dan kerja sama, kepentingan menjadi dasar utama. Seorang olahragawan berlatih setiap hari agar bugar dan sehat, sehingga dalam kompetisi olahraga dia mampu bersaing hingga menjadi pemenang, mengalahkan lawan. Warga urunan membuat irigasi, agar sawahnya dialiri air, lalu tumbuh subur tanaman di sawahnya. Keduanya berdasar pada kepentingan.

Adalah benar bahwa NU terikat pada ajaran agama, tapi dia punya kepentingan untuk mengembangkan sumber daya dan yang diwakilinya. Kesemuanya ini mempelihatkan kepentingan punya kekuatan untuk menghidupkan nilai juang dalam setiap dinamikanya.

Melampaui stigma, bukan untuk menghapus stigma, melepas identitas yang sudah melekat dan diberikan. Melampaui stigma adalah upaya, mengumpulkan kepentingan, ruang juang, untuk menjadikannya lebih tidak terbatas untuk hal-hal lain, yang lebih panting dari sekadar penebalan identitas dan memperkuatnya. Tetapi untuk, kebermaanfatan yang lebih besar, untuk NU dan segala sumber daya yang diwakilinya.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button