Berita

Kisah Penjual Gorengan dan Puasa Daud

PERADABAN.ID, JAKARTA – Kecintaan orang tua terhadap anaknya, rasa-rasanya tiada tolak ukur apalagi ibarat. Ia begitu murni dan sulit dibentukkan. Ia hanya bisa mewujud dalam diri dengan manfaat-manfaat setelahnya. Barangkali, sejak itulah, manfaat bisa diukur, dalam bentuk pangkat, kedudukan atau semacamnya.

“Kamu ini…,” beliau berkata, diselai helaan napas yang dalam, “seadainya pendahulu-pendahulumu bukan ahli tirakat … entah jadi apa kamu…?”

Tutur Gus Yahya dalam sebuah tulisannya berjudul Anak. Kalimat di atas dilontarkan Mbah Kiai Muromi.

Baca Juga Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru

Di dalam tulisan yang sama, untaian dialog juga dikisahkan oleh Gus Yahya. Kali ini tentang penjual gorengan di dekat Pondok Krapyak. Namanya Gopar yang kebetulan, almarhum ayahnya menjadi imam langgar di kampungnya, tepatnya di Pekalongan, sekaligus suka tirakat.

Saat lahir anak pertamanya, Gopar melapor ke Kiai Cholil Bisri Rembang. Kiai Cholil menanggapi ala kadarnya saja, dan seperti biasa Kiai Bisri minta pijit. Di sela-sela pijitan berlangsung, Kiai Bisri bertanya kepada Gopar.

Baca Juga Bersama MBZ University, PBNU akan Dirikan School of Future Studies

“Bapakmu dulu suka tirakat juga ya, Par?” Kiai Bisri bertanya.

“Alhamdulillah, setahu saya memang begitu, Mbah?”

“Puasa”? Kiai Bisri melanjutkan.

Mendengar pertanyaan itu, Gopar pun mengiyakan. “Cuma tidak ndawud atau ndalaill,” jawab Gopar.

Setelah Gopar menjawab, Kiai Cholil diam sejurus, seolah merenung.

“Lha iya, Par … ,” beliau bergumam, “bapakmu sudah tirakat saja hasilnya Cuma anak maca, kamu. Kalau kamu tidak tirakat, anakmu jadi apa?”

Gopar tak berhenti puasa ndawud sejak saat itu. Bahkan sampai lima belas tahun kemudian.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button