Opini

Keluarga, tentang Permberdayaan

PERADABAN.ID – Di antara kisah-kisah keluarga, mungkin dalam artikel sebelumnya di media ini, menganga pilu-pilu tentang keluarga. Dia tidak berisik, tapi mengalun irama ketidakpastian yang getir.

Keluarga dalam kerangkeng pertarungan yang maha besar, kadang luput dari liput. Keluarga seperti ornamen-ornamen saja.

Bahkan, saat Indonesia kelap-kelip karena listrik belum masuk desa, keluargalah yang terus menjadi petromaks. Menyala-nyala menerangi cara orang bicara dan bahagia.

Dari majalah Historia (2014), kadang Listrik Masuk Desa, hanya menjadi seonggok bahan kampanye. Peningkatan taraf hidup masyarakat, terutama di Pedesaan, menjadi tujuan normative belaka.

Baca juga:

Program-program tentang keberpihakan, selalu mendulang banyak kepentingan. Atau maksudnya, dikooptasi untuk kepentingan tertentu.

Duduk perkaranya, keluarga tidak dilihat sebagai unit berkesinambungan dalam mandeg-majunya pembangunan. Beruntunglah, saat keluarga menjadi satu narasi besar yang berkelanjatan, dirancang dan diimplementasikan dengan cara-cara inklusif.

Pendek sepengetahuan saya, beberapa dekade terakhir muncul kebijakan untuk berpihak kepada desa. Arsitek sistem dibentuk, mulai dari pusat hingga daerah-daerah. Undang-undangnya dibuat, untuk dijadikan infrastruktur regulatif.

Berkenaan dengan keluarga, dalam narasi besar itu, adalah pemberdayaan keluarga. Pemberdayaan keluarga itu seperti menjadikannya subjek.

Pemberdayaan itu sedikitnya melihat potensi-potensi yang dimiliki keluarga. Pemberdayaan itu, mengurangi ketidakmampuan keluarga. Ketidakmapuan yang dilatari kemiskinan semisal, sehingga berdampak pada resesi kesehatan keluarga.

Mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi anak atau ibu hamil, mendapatkan fasilitasi sanitasi untuk mengurangi kerentanan terkena penyakit. Dan selanjutnya adalah akses.

Baca juga: Berita dan Informasi Gus Yahya Terbaru

Akses untuk mengetahui cakupan gizi yang dibutuhkan, akses informasi yang berkecukupan berkenaan dengan kesehatan keluarga. Lantas? Entah.

Yang jelas, tidak diinginkan ketidakberdayaan itu terus menggurita. Seperti sang ibu, dalam kisahnya di tengah gempita 1970 final piala dunia, yang mendapati anaknya tidak tahu hilang kemana. Diculik atau bagaimana, sebab yang dia tahu anaknya orang baik tidak neko-neko.

Ahmad Bonang Maulana

Penulis lepas. Tulisannya tesebar di ragam media cetak dan online baik nasional dan daerah. Saat ini tinggal di Jakarta.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button